Mohon tunggu...
Henri Satria Anugrah
Henri Satria Anugrah Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis Konten Pengembangan Diri

Membacakan hasil tulisan di channel Youtube bernama Argentum (https://www.youtube.com/c/Argentum-ID/)

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Mencintai Diri Sendiri Tak Semudah Mencintai Orang Lain, Mengapa?

23 Oktober 2019   11:50 Diperbarui: 24 Oktober 2019   04:48 652
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pic via happierhuman.com

Mencintai merupakan fitrah yang diturunkan Tuhan pada setiap hati manusia. Dengan mencintai, manusia akan membangun rasa nyaman untuk menjalin hubungan dengan manusia, tidak hanya orang lain, tetapi juga diri sendiri.

Dengan mencintai, manusia akan rela menghabiskan berbagai sumber daya (materi, waktu, dan tenaga) untuk digunakan bersama dengan manusia yang dicintai.

Jika kita mencintai kekasih, maka apapun yang dia minta, akan kita belikan. Kapanpun dia ingin bertemu, akan kita sempatkan. Bagaimanapun dia meminta pertolongan, akan kita bantu.

Sebaiknya, dalam menjalin hubungan dengan diri sendiri pun demikian. Namun pada kenyataannya, seringkali kita mendapati orang yang lebih perhatian kepada orang lain daripada kepada dirinya sendiri.

Ada dua alasan yang membuat kita lebih mudah mencintai orang lain daripada diri sendiri. Pertama, ketika mencintai orang lain, kita cenderung menerima dia apa adanya. 

Seluruh kepribadiannya akan kita cintai dengan sepenuh hati. Apabila kita melihat satu-dua keburukan darinya, kita akan "menutup mata" sambil berkata "itulah wajarnya manusia. Mana ada manusia yang sempurna?".

Kita pun akan menanggap bahwa satu-dua keburukannya merupakan bagian dari kepribadiannya yang juga kita cintai. Kita akan merasa bahwa dia tidak akan lengkap tanpa keburukannya, karena itulah dia. Begitulah perasaan kita ketika mencintai orang lain. 

Namun, kedua, ketika mencintai diri sendiri kita akan membandingkan diri-nyata (real-self) dengan diri-ideal (ideal-self) yang kita miliki. Real-self adalah bagaimana diri kita melihat diri sendiri saat ini, sedangkan ideal-self adalah sosok ideal yang ingin kita capai.

Ketika melihat orang lain, kita cenderung melihat real-self-nya saja, lalu langsung menerima real-self-nya secara apa adanya sebagai bentuk cinta.

Tentu, kita tidak bisa melihat ideal-self orang lain. Kalaupun kita menanyakan ideal-self orang yang kita cintai kepada yang bersangkutan, maka yang dia beritahukan ialah bagian dari ideal-self-nya, bukan ideal-self-nya itu sendiri.

Semakin jauh perbandingan antara real-self dengan ideal-self maka kita akan semakin membenci diri sendiri. Sebaliknya, semakin dekat perbandingan antara real-self dengan ideal-self, maka kita akan semakin mencintai diri sendiri. Ilustrasi sederhananya sesuai pada gambar di bawah.

Ilustrasi: dokpri
Ilustrasi: dokpri
Ilustrasi: dokpri
Ilustrasi: dokpri
Namun, jangan sampai perbandingan antara real-self dengan ideal-self terlalu dekat. Jika terlalu dekat, maka orang itu disebut dengan terlalu mencintai diri sendiri, atau istilah umumnya, orang sombong.

Pada dasarnya, real-self dan ideal-self merupakan variabel dinamis yang berubah sepanjang waktu. Jika kita sudah mencapai ideal-self yang kita inginkan, maka ketidaksadaranmu akan memproduksi ideal-self yang baru, itulah cara manusia selalu berkembang, itulah normalnya manusia.

Jika tidak punya keinginan berkembang, maka orang itu sedang dalam "masalah". Ilustrasi dari orang sombong ada pada gambar di bawah.

Ilustrasi: dokpri
Ilustrasi: dokpri
Jadi, jika ingin mencintai diri sendiri, maka bercita-citalah sesuai dengan kesanggupanmu. Jangan pernah membuat cita-cita yang mustahil untuk dicapai, karena itu hanya akan membuatmu semakin membenci dirimu sendiri.

Di sisi lain, berusahalah untuk mencapai cita-citamu. Tingkatkan dan dekatkan real-self-mu dengan ideal-self-mu, jangan hanya menyalahkan cita-citamu saja. Intinya terletak pada keseimbangan antara real-self  dengan ideal-self.

Keseimbangan yang dimaksud bersifat relatif dan abstrak. Kamu lebih memahami keseimbangan antara real-self dan ideal-self-mu daripada siapapun. Orang lain hanya bisa membantumu untuk menyeimbangkannya dari luar dirimu.

Pemahaman konsep hubungan real-self dengan ideal-self sangatlah penting untuk meningkatkan daya tahan diri. Jadi, kalau terjadi "sesuatu" kepadamu, maka setidaknya kamu bisa melakukan pertolongan psikologis pertama kepada dirimu sendiri, sebelum akhirnya mungkin perlu untuk pergi ke psikolog/psikiater, bahkan mungkin juga bisa tidak perlu sama sekali.

Ilmu tentang mencintai diri sendiri sangatlah bermanfaat untuk menghadapi alur kehidupan yang kadang penuh dengan kejutan dan cobaan dari Yang Maha Kuasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun