Tulisan saya mengenai “Paket Umrah Tanpa Wisata” ternyata mendapat banyak tanggapan. Ada yang langsung mendaftarkan diri untuk ikut bergabung dengan paket tersebut. Padahal itu masih berupa gagasan saya saja. Baca di sini: http://sosbud.kompasiana.com/2013/08/07/paket-umrah-tanpa-wisata-siapa-mau-582204.html. Nah setelah saya menghubungi pihak penyelenggara ibadah umrah, ternyata gagasan saya disambut baik. Gagasan berkembang menjadi lebih sempurna, bukan “Umrah Tanpa Wisata” melainkan “Umrah Serasa Haji”. Maksudnya, bagaimana kita menjalankan ibadah umrah namun rasanya (hampir) persis sama dengan ibadah haji. Kok bisa? “Bisa saja, bisa diatur, asal dapat membentuk rombongan sendiri,” kata petugas penyelenggara umrah tersebut. Saya kira mereka yang pernah ke tanah suci pasti berkeinginan kembali lagi. Apalagi dalam waktu-waktu seperti sekarang ini kesempatan untuk bisa menjalankan ibadah haji sulitnya minta ampun. Harus menunggu belasan tahun sampai dapat giliran berangkat dalam jadwal haji reguler. Itupun harus melunasi ONH lebih dulu. Mau yang ONH Plus? Tetap saja tidak bisa langsung berangkat, melainkan harus menunggu 5 tahun. Itupun ongkosnya sangat mahal, 4-5 kali biaya umrah. Nah, bagaimana kalau kita bisa umrah seperti ibadah haji? Kalau memang bisa diatur, mengapa tidak dicoba? Sebagaimana diketahui, syarat wajib umrah itu hanya empat: Sholat sunnah di miqat, tawaf, sa’i dan tahallul. Yang sunnah adalah sholat di dekat maqom Ibrahim, berdoa di depan multazam dan minum air zam-zam. Selain itu, hanya berupa wisata meskipun memang mengandung muatan sejarah juga. Wisata religi. Bedanya dengan ibadah haji, tidak ada wukuf di arafah dan lempar jumrah. Nah, dengan rombongan yang kita bentuk sendiri itu kita bisa membuat paket umrah dengan agenda ada wukuf di Arafah dan lempar jumrah. Meski itu bukan wajib, namun setidaknya kita bisa merasakan sendiri seperti apa yang dilakukan dalam ibadah haji. Bagi mereka yang belum pernah haji, ibarat ini semacam latihan. Disamping itu, hal-hal yang tetap dipertahankan dalam paket umrah ini misalnya; Sholat di Masjid Nabawi (sekaligus ziarah makam Rasulullah dan berdoa di Raudlah), sholat di Masjid Quba (karena nilainya sama dengan umrah), dan tentu saja berlama-lama di Masjidil Haram agar bisa Umrah berkali-kali, Thawaf Sunnah atau sekadar I’tikaf (yang satu ini juga bermakna meditasi kan?). Ditambah lagi, menjalankan shalat Arbain di masjid Nabawi. Bagaimana urut-urutan acaranya, biarlah nanti diatur sendiri oleh pihak travel berdasarkan masukan kita semua. Bahkan, saya ditawari sekalian bisa naik, masuk dan sholat di dalam Gua Hira’ di Jabbal Nur. Ini yang diidamkan banyak orang. Yang jelas, dengan agenda seperti itu maka tidak cukup waktu 9 hari (7 hari efektif) untuk menjalankan umrah paket istimewa ini. Minimal butuh waktu 13-14 hari, karena untuk sholat Arbain saja butuh waktu selama 8 (delapan) hari penuh berada di Madinah. Soal penginapan, saya sudah berunding dengan pihak travel, tidak perlu di hotel mewah, bintang 4 atau 5, cukup di apartemen atau hotel biasa saja, supaya bisa murah. Tetapi risikonya, jaraknya lumayan jauh dengan Masjidil Haram. Saya bilang tidak apa-apa, sebab hotel hanya dimanfaatkan untuk tidur saja. Bukan untuk makan. Pihak travel berjanji bisa mengatur, bahwa untuk keperluan makan bisa disediakan di lokasi yang dekat dengan Masjidil Haram, kemungkinan malah bisa di dalam Grand Zamzam Hotel, dibawah Menara Jam yang terkenal itu. Jadi jamaah tidak perlu harus pulang ke hotel hanya untuk keperluan makan. Pengalaman saya, menjelang sholat Subuh jamaah berangkat ke Masjidil Haram, setelah sholat trus pulang lagi ke hotel hanya untuk sarapan. Berangkat ke masjid lagi untuk sholat Dluhur, setelah itu kembali lagi ke hotel, lagi-lagi hanya untuk makan siang. Baru sholat Ashar di masjid lagi dan terus dilanjut sholat Magrib sampai Isya’ baru kembali ke hotel untuk makan malam lalu tidur. Pertanyannya, mengapa harus bolak-balik ke hotel hanya untuk makan saja? Mengapa tidak disediakan makan di lokasi dengan masjidil Haram saja? Ternyata usulan saya ini disetujui. “Bagus, itu ide sangat bagus, tidak pernah terpikirkan seperti itu,” katanya. Nah, kalau bisa makan tanpa harus kembali ke hotel, maka kita bisa berlama-lama di Masjidil Haram sejak subuh sampai Isya’. Kita bisa tawaf sunnah berkali-kali, bisa i’tikaf dalam masjid, atau membaca Al Qur’an. Bahkan kalau mau menyempatkan diri sebentar mengambil miqat di Ji’ronah, kita juga bisa umrah lagi semau kita. Bukankah ini jauh lebih efektif ketimbang ngerumpi di dalam kamar hotel? Soal biayanya, memang belum dihitung, apalagi dengan kondisi kurs Dolar AS yang meroket seperti sekarang ini. Sekadar ancar-ancar saja, kalau paket Umrah 13 hari biayanya sekitar 2500 USD atau Rp 27,5 juta (kurs Dolar AS Rp 11.000) dengan catatan berangkat dari Jakarta. Tapi itu harga masih bisa diatur lagi, sebab hotel tidak butuh bintang 4 atau 5. Untuk menghindari kekhawatiran, saya tidak akan mengkordinasi urusan duit. Nanti langsung berhubungan dengan pihak travel saja. Uangnya bisa DP dulu Rp 3,5 juta kok. Langsung transfer ke pihak travel. Bukan saya. Teknisnya nanti bisa kita bahas lagi. Nah kalau Anda sepakat dengan gagasan saya ini, mari kita bergabung untuk membentuk grup “Paket Umrah Serasa Haji” ini. Silakan mencatatkan nama dan nomor hape lewat inbox langsung ke saya. Jumlah rombongan yang disarankan 30 orang. Nanti kita komunikasi lagi lebih intens untuk membahas segala sesuatunya. Rencananya, Paket Umrah Serasa Haji ini bisa dilaksanakan sekitar bulan Februari atau maret tahun 2014. Bagaimana? Saya tunggu responnya yah.... Salam (Henri Nurcahyo – HP: 0812 3100 832)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H