Tentu saja rakyat Solo marah dan membela walikotanya. Tetapi Jokowi malah santai saja. Kepada wartawan yang memancing-mancing kemarahannya, Jokowi hanya menjawab ringan, “saya memang bodoh kok….”
Maka pada suatu ketika, Jokowi bertemu dengan Gubernur Bibit dalam acara serah terima Walikota Solo dari Jokowi kepada Rudiyatmo, wakilnya. Tentu saja waktu itu Jokowi sudah terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta. Apa yang dilakukan Jokowi saat itu, dengan santun dia mendatangi Bibit, menyalami dan mencium tangannya. Itulah bentuk “perlawanan” Jokowi kepada atasannya yang mungkin saja tidak menyadari kesalahannya. Ini jenis perlawanan khas Jawa, yang tidak mempermalukan.
Ngluruk Tanpa Bala, Menang Tanpa Ngasorake, Sekti Tanpa Aji-Aji, Sugih Tanpa Bandha (Berjuang tanpa perlu membawa massa; Menang tanpa merendahkan atau mempermalukan; Berwibawa tanpa mengandalkan kekuasaan, kekuatan; kekayaan atau keturunan; Kaya tanpa didasari kebendaan).
Jadi, benarkah Jokowi Capres Boneka? Benarkah ketika nanti dia terpilih menjadi Presiden RI hanya tunduk sepenuhnya pada Megawati? Kalau ternyata hal itu bakal terjadi, saya sepakat dengan sopir taksi itu, “mari kita lawan Megawati !! !” (*)