Catatan Henri Nurcahyo
Ini sudah tradisi di Pacitan. Beberapa hari menjelang Lebaran diselenggarakan Karnaval Rontek secara besar-besaran bahkan sampai berlangsung hingga tiga malam lamanya. Tahun 2011, festival Rontek Gugah Nagari sampai tercatat di rekor MURI karena diikuti oleh 2.818 orang. Rontek adalah sejenis musik penggugah saat sahur di bulan puasa. Di banyak daerah lain, namanya Patrol, yaitu musik jalanan yang menggunakan instrumen kentongan bambu.
Rontek berasal dari kata "ronda thetek" yang merupakan alat musik sejenis kentongan untuk ronda atau siskamling, terbuat dari bambu yang dilubangi memanjang di bagian tengahnya. Cara memainkannya dipukul-pukul dengan bambu juga sehingga terdengar alunan musik yang unik dan indah. Dahulu Seni Rontek Gugah Sahur hanya dikombinasikan dengan instrumen musik tradisional seperti gong, kenong, suling, dan saron. Namun, saat ini dikombinasikan juga dengan instrumen musik modern seperti saxophone, bass drum, dan pianika. Tradisi ini mengutamakan kekompakan dan keserasian pemain alat musik, penari, dan pesinden. Selain menarik, tradisi ini juga sebagai media untuk saling bersilaturahmi antar warga.
Konsep dari kegiatan ini adalah perlombaan Rontek yang diikuti oleh perwakilan desa/kelurahan se-Kecamatan Kota Pacitan dan perwakilan Kecamatan se-Kabupaten Pacitan. Karena banyaknya kontestan yang berpartisipasi dalam kegiatan ini, maka tidak jarang kegiatan ini berlangsung selama berhari-hari. Hal ini juga disebabkan oleh waktu kegiatan yang hanya berlangsung setelah salat tarawih saja. Tahun ini, kegiatan berlangsung tanggal 22-24 Juli 2014, yang diikuti oleh 36 peserta dengan Tim Juri yang berasal dari ISI Yogyakarta, ISI Surakarta dan STKW Surabaya.
Dan yang menarik, dalam hajatan ini bukan sekadar adu kreasi memainkan instrumen musik saja melainkan menjadi karnaval malam hari yang disemarakkan dengan tarian dan berbagai penampilan untuk menarik perhatian. Karnaval rontek ini sangat meriah. Karena, selain para pemain rontek yang berdandan layaknya pawai 17 Agustusan, setiap kelompok juga mendekorasi kendaraan menjadi aneka macam bentuk yang kreatif. Kegiatan ini tidak kalah dengan JFC (Jember Fashion Carnaval) yang sudah terkenal itu. Jika Semarang memiliki Semarang Night Carnival (SNC) atau di Malang ada Malang Flower Carnival (MFC), serta di Pamekasan ada Festival Dhukdhuk, maka Festival Rontek adalah satu khazanah seni budaya yang cukup menjadi hiburan yang menarik bagi masyarakat Pacitan.
Masing-masing grup mendapat subsidi dari Pemkab Pacitan sebesar Rp 10 juta, namun faktanya beaya yang keluar hingga puluhan juta rupiah, konon ada yang sampai Rp 70 juta rupiah. Maklum, dalam satu grup peserta bisa melibatkan puluhan pesera, rata-rata di atas 50 orang. Kekurangan dana ini didapat dari pihak Kecamatan atau Kelurahan, juga dari sponsor lain. Itu sebabnya terlihat ada logo-logo perusahaan tertentu di kendaraan hias mereka.
Tak heran maka pada saat karnaval tersebut berlangsung ribuan warga Pacitan tumplek blek memadati jalur-jalur protokol. Kemeriahan malam begitu terasa meski bukan hari libur. Hampir semua warga dari segala usia datang untuk menyaksikan lomba rontek antar desa se Kabupaten Pacitan. Tentu saja, aksi kolosal itu menyita perhatian warga setempat. Sejumlah ruas jalan utama yang menjadi rute kegiatan berubah menjadi lautan manusia. Diantaranya Jalan JA Suprapto-Jl Diponegoro-Jl Basuki Rahmat-Jl Dr Sutomo dan berakhir di Jl Veteran. Sejumlah aparat kepolisian berseragam lengkap diterjunkan mengatur lalu-lintas. Pilihan waktu menjelang Lebaran ini juga dimaksudkan sebagai sarana hiburan bagi warga Pacitan yang sudah mudik dari perantauannya selama ini.
Membangunkan orang untuk makan sahur di bulan Ramadan menggunakan beraneka macam alat musik kentongan sudah menjadi tradisi sejak dulu, memang bukan hanya di Pacitan. Tidak sedikit diantara anak muda yang tidur di masjid atau mushala agar tidak ketinggalan ikut rontek bersama teman-temannya. 'Tanpa rontek, malam di bulan Ramadan terasa ada yang kurang. Selepas tengah malam, secara berkelompok mereka keliling kampung. Setiap kelompok jumlahnya bisa mencapai belasan hingga puluhan anak. Alat musik yang digunakan pun ala kadarnya. Mulai kentongan bambu, kendang, bedug maupun drum bekas. Aktivitas anak-anak muda setiap tengah malam hingga dini hari menjelang sahur itu pun bermacam-macam. Ada yang sekadar menabuh kentongan. Namun, ada juga yang berirama dan dipadukan dengan gamelan reog.
Selain terdengar suara rontek yang memecah kesunyian malam, juga terdengar lantunan anak-anak muda. Mulai musik Islami, campursari, pop sampai lagu-lagu mars perjuangan. Saking semangatnya, beberapa di antaranya bertelanjang dada sambil bergoyang mengikuti irama rontek.
Namun, ada juga kelompok yang usil. Biasanya, mereka berhenti di teras rumah salah seorang warga dan memukul kentongan dengan keras. Beberapa di antaranya berteriak sahur-sahur, berulang kali. Tentu saja, hal itu tidak saja membangun si empunya rumah. Tetapi, juga membuatnya terganggu. Tak jarang, pemilik rumah malah marah.
Kelompok rontek anak muda juga membuat polisi menjadi sibuk mengurusnya. Pasalnya, saat dua kelompok besar rontek saling bertemu, terkadang saling mengejek dan mengolok. Akibatnya, kegiatan rontek pun berubah menjadi perkelahian masal. Parahnya, hal itu terus berulang pada malam-malam berikutnya dengan jumlah yang lebih banyak lagi. Maka penyelenggaraan Karnaval Rontek seperti kali ini adalah sebuah solusi agar kreativitas anak-anak muda itu dapat tersalurkan dalam kompetisi yang sehat dan positif. Tidak lagi tawuran dan saling ejek antar kelompok. (*)