***
Sebetulnya kami tiba di bandara belum terlambat. Masih tersisa 30 menit sebelum penerbangan. Tapi sayang kami menyadari hal itu terlambat, bahwa penerbangan Koh Djaja di terminal internasional bukan di penerbangan domestik. Perlu lebih banyak waktu karena akan ada prosedur di imigrasi mungkin sebab itu Koh Djaja bilang akan berangkat 2 jam sebelum keberangkatan.
Aku masih menunggu kabar dari Bos Udin yang coba menembus pagar berlapis, tetapi dari jauh wajahnya yang terlihat lesu sepertinya itu gagal.
“Percuma! Kartu biro kita, hanya bisa menembus di penerbangan domestik, begitu kata petugas bandara,” ujarnya menghembus napas.
“Sejak tiba di rumah Pak Salim, aku juga kehilangan kontak dengan Koh Djaja. Aku rasa mungkin karena terkendala sinyal, tetapi…” Sesaat kudengar suara yang tak asing menyambung kata-kata yang keluar dari mulutku.
“...tetapi saya masih setia menunggu kabar bahagia dari tuan-tuan.” Koh Djaja menyapa kami berdua, dengan menggunakan model topi Pak Tino Sidin, lengkap dengan tongkat berkepala naga.
“Aih Koh, hampir saja jantungku lepas,” tukas Bos Udin sembari memperlihatkan berlian biru di sebuah kotak bening kokoh kemudian menyerahkan.
“Sebelum saya masuk, saya bertanya kepada petugas, apakah biro kalian bisa masuk hingga ke ruang tunggu. Petugas mengatakan tidak bisa karena alasan ketertiban. Sebab itu saya berangkat lebih awal,” kata Koh Djaja tenang.
Aku dan Bos Udin menggeleng.
“Berlian itu menyimpan kenangan perjalanan hidup saya bersama mendiang istri saya,” terang Koh Djaja lagi.
Sesaat kami mendengar panggilan penerbangan dari pengeras suara atas nama Djaja Diningrat. Bos Udin memberi isyarat dengan jari telunjuk ke atas bahwa itu panggilan untuk menuju pesawat.