"Terus-terus," semakin seru ini dalam hati saya.
"Ayahku akhirnya mau datang. Guruku mulai menjelaskan, di pelajaran matematika nilaiku memang benar 10. Bukan mengada-ada. Bukti soal dari hasil ulangan catur wulan dan dari ulangan harian semua menunjukan nilai 10, tapi Ayah masih keras nggak mau terima. Ayah tetap kekeh apapun itu alasannya pokoknya diganti 9."
Saya mendengar sambil manggut-manggut, sementara Sendok saya kasih waktu menghisap rokok, sebelum lanjut bercerita lagi.
"Kepala sekolah mulai walangkerik, seakan ingin nantang berkelahi saja. Batinnya, ini orang tua model apa, punya anak dapat nilai 10 eh malah ngamuk-ngamuk. Akhirnya, demi menjaga kerukunan antar orang tua wali dan guru diputuskan nilai 10 diganti 9. Untung saja guruku dan kepala sekolah sabar dan manut. Tapi, itu setelah mendengar penjelasan dari ayah persis kayak yang dijelaskan ke aku saat di awal tadi, tak berselang lama beliau bertiga pun semua tertawa, terbahak-bahak."
"Ohhh pantesan, waktu itu saat kamu buka-buka aku juga sempat lihat ada coretan tipex di rapormu, apa betul itu Dok?" tanya saya baru saja menyadari.
"Heemm," gumam Sendok menunduk.
Sesaat suasana hening. Namun tiba-tiba, saya saksikan tangan Sendok merayap-rayap seperti sedang mencari sesuatu. Kemudian Sendok pindah kamar. Tidak berselang lama samar-samar saya dengar dari balik kamar, suara tawa Sendok bersama ayahnya melalui saluran ponsel. Dari sini saya jadi tahu, bagaimana caranya memancing Sendok untuk mau bercerita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H