"Ya... ya... ya..." gumam saya. Ini pemuda belum cerita sudah besar kepala.
"Ada satu mata pelajaran di raporku nilainya 10. Kamu tahu bagaimana ekspresi ayahku waktu itu?"
"Lha ya mana aku tahu" jawab saya agak kesal. Pertanyaan yang nggak masuk akal.
"Minggat!"
"Haaahhhh!" kali ini saya terkejut.
"Ya, betul. Aku disuruh minggat."
"Lah! kok bisa?" saya semakin heran.
"Ya bisalah. Kata ayahku, nilai 10 itu hanya milik guru. Kalau murid hanya boleh nilai 9 saja. Jadi kalo guru ngasih nilai 10 itu tanda guruku lagi marah sama aku. Cuma biar marahnya nggak kelihatan. Aku dikasih nilai 10. Paham!"
"Terus-terus," saya masih penasaran.
"Sebentar," timpal Sendok sembari menyeruput kopi yang masih hangat.
"Akhirnya, aku berangkat lagi ke sekolah. Minta guruku untuk mengubah nilai 10 tadi. Sampai sekolah, eh guruku menolak. Katanya, nilai itu memang betul hasil dari belajar kerasku. Aku sampai nangis-nangis Lur, ya opo ini. Mana ayah nggak mau tau, pokoknya nilai itu pulang harus sudah berubah. Guruku memang top, enggak tega lihat aku nangis-nangis. Kali ini Kepala sekolah ikut terlibat. Beliau-beliau memutuskan mengundang ayah untuk datang. Geger geden ini Lur."