"Dok. Kira-kira apa yang paling berkesan tentang Ayahmu di saat kamu masih kecil?"
"Dikasih duwit jajan." Jawabnya cepat, singkat, dan nggak masshook.
"Serius ini Dok?"
"Hehhhh! Aku malah lebih serius," Sendok malah ngegas. "Ehhh, Hen. Tidak ada yang tidak berkesan. Beliau itu ayahku. Pertanyaanmu itu betul-betul nggak masshhokk!"
"Yawis-yawis, biasa saja. Enggak usah galak-galak."
"Gini. Ada nggak cerita di mana kamu betul-betul susah lupa selama bareng sama ayahmu?"
"Pertanyaanmu mbulet Hen. Wis jan nggak masshookk! Maksudmu gini, kan! Cerita sewaktu kecil yang sulit dilupakan saat bersama ayah? gitu kan!"
Saya mengangguk.
"Ada satu. Dan itu ngeselin, tapi aku sangat menikmatinya."
Sendok mulai ambil ancang-ancang untuk bercerita masuk lebih dalam. Tapi saya minta intermezzo, saya buatkan kopi dulu. Rasanya kurang pas jika bercerita tanpa suguhan secangkir kopi dan sebungkus rokok, dan satu lagi, asbak.
"Jadi gini Hen. Kamu tahu kan kalo aku ini pintar," ujar sendok sambil mencabut sebatang rokok dari kotak bungkusnya.