Suatu malam, ketika saya sedang mengejar deadline karena harus setor cerpen untuk dikirim pagi-pagi sekali, sahabat saya satu kos datang. Sebut saja namanya Sendok. Dia ternyata juga memiliki masalah yang sama, diburu setor tulisan di kolom esai, yang di mana nyaris satu paragraf pun belum juga selesai karena tersangkut dengan persoalan asmara.
"Enak ya kamu Hen. Hampir selesai cerpenmu. Aku satu kalimat saja belum!"
"Lah bagaimana toh, Sen?" maksud saya "Dok" saya berusaha memanggilnya seperti itu sebab konon katanya, Sendok sempat punya cita-cita mulia yaitu menjadi dokter. Tapi, nahas, nasib berkata lain. Ia gagal masuk tes di Jurusan Kedokteran. Bila ditelisik, sebetulnya, cara berpikir Sendok sangat luas. Mampu melihat pokok masalah dari berbagai sudut pandang. Gagasan dan ide-idenya selalu cemerlang. Tapi, kelemahannya cuma satu, maaf jika saya terlalu berlebihan. Sendok orangnya pemalas.
Sebetulnya Sendok bukan orang sembarangan. Sendok salah satu orang yang selalu jadi tempat jujukan teman-temannya yang sedang mengalami masalah saat bulan menunjukan tanggal tua. Maka Sendok sering tampil sebagai juru selamat. Dari sekian sahabat saya, hanya Sendok yang masih kuat memiliki garis keturunan darah ningrat.
"Apa perlu tak bantu untuk mengawali di beberapa kalimat paragraf pembuka, atau sekalian saja biar nggak nanggung tak bantu nulis sampai selesai, asal idenya dari kamu loh Dok?"
"Wis nggak usah! Ingatanku masih cukup segar. Sewaktu kamu bantu nulis aku, pas tak baca kalimatnya muter-muter. Pokoknya, tulisanmu nggak mashook blass," ujar Sendok ketus.
"Ya sudah! Enggak usah marah gitu. Sudah gede kok punya hobi marah-marah. Nah, sekarang, menurutmu aku harus bagaimana?" sembari saya tawarkan sebatang rokok lalu memantiknya biar suasana sedikit cair.
"Aku masih kepikiran Indah!" wajah Sendok terlihat memprihatinkan.
"Lah Indah sendiri apa juga mikirin kamu toh, Dok?"
"Wooo, bocah dobol. Aku ini curhat, Bol, Dobol"? balas Sendok emosi.