Sesosok laki-laki berambut gondrong diikat melingkar ke atas mirip seperti begawan, terlihat melangkah cepat mendekat. Napasnya sedikit tersengal, sorot matanya tiba-tiba melirik singkat tongkat berwarna abu-abu kecokelatan itu.
"Lama sekali tak bertemu, bagaimana kabar Anda, Empu?" tanya Bimasena mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Empu Akatara.
Dengan semangat Empu Akatara menyambutnya sangat erat. "Baik. Baik sekali." Jawabnya. "Kau begitu lebih gagah dengan rambut gondrong diikat."
"Aku belum sempat memotongnya jadi, kubiarkan saja panjang." Ujarnya melanjutkan. "O ya Empu. Tongkat itu ... "
Empu Akatara tiba-tiba menunjukan. "Bagaimana menurutmu?"
Bimasena menyambut tongkat itu membolak-balik pelan. Dilihatnya setiap detail bentuk.
"Tongkat ini begitu lunak dan ringan. Kelok-kelok batangnya memberi kesan sederhana namun sakral. Dilihat dari bentuknya tentu anda memotongnya dari akar pohon setigi terbaik dan memilihnya sangat hati-hati." Ujarnya penuh perhatian.
Ki Arnawa memang tak salah memilih pengawal, itu memang sudah keahlian Bimasena menganalisis setiap kayu yang tertangkap oleh pandangannya seraya kepalanya mengangguk-angguk kecil. Sedang Empu Akatara tersenyum dan belum sempat dia berkata lagi, Ki Arnawa bertanya.
"Itu artinya. Empu, betul-betul tahu, tongkat yang dibutuhkan Ki Kebomas saat ini?"
Disertai Bimasena melirik Empu Akatara seperti menagih hutang rahasia yang ingin diketahui dengan penuh rasa penasaran.
"Berhari-hari aku memikirkan itu, tongkat apa yang harus kubuatkan untuk Ki Kebomas. Agar dia bisa menjenguk cucunya dengan mantra Gedruk Bantala. Tentu kau tahu lah, sesakti apapun mantra Gedruk Bantala tetap saja sulit untuk melintas antar pulau dengan bentuk tongkat yang hanya lurus saja.