Ki Kastara menengadah menatap Dewandaru memetik buah mangga dengan memanjat pohon disertai tangan memegang erat keranjang anyaman bambu. Sepertinya, ia sangat terampil. Betul-betul pemandangan yang aneh menurut Ki Kastara. Tentu saja, bagaimana mungkin anak muda sakti itu mau-maunya mengikuti jejak kakeknya. "Dasar tua bangka, sungguh tega memperlakukan cucunya seperti itu!" Katanya pelan dan kesal.
Ki Kebomas yang tak sengaja melintas di belakang Ki Kastara, terkaget mendengarnya. "Sekali lagi kau bilang tua bangka, tidak segan-segan kupukulkan keras-keras tongkat sakti ini ke pinggangmu supaya kau merasakan encok yang begitu hebat." Ujarnya sangat sebal.
Sesaat wajah Ki Kastara membeku, mulutnya merapat menahan tawa. Tak disangka Ki Kebomas mendengar apa yang barusan diucapkannya.
"Bagaimana! Hasil didikanku, hebat bukan." Kata Ki Kebomas bangga.
"Tunggu-tunggu. Coba kau lihat ini?" gumam Ki Kastara, seraya menggerakan jari telunjuknya mengarah tepat ke buah mangga yang akan dipetik tiba-tiba terjatuh.
Ki Kebomas yang tahu itu, hanya diam saja. Tiga buah mangga jatuh sia-sia. Dewandaru merasa tak melakukan kesalahan saat memetiknya. Ia terlihat menggaruk-garuk rambut dengan ekspresi keheranan. "Jika gagal empat kali. Aku turun." Gumam hatinya.
Kemudian, ia lakukan lagi. Dengan gerakan sangat pelan dan merangka, tangannya meraih buah mangga keempat kalinya. Diputarnya sedikit buah itu, lalu terputus dari tangkainya. Sesaat, bibirnya tersenyum.
"Hmmm." Gumam Ki Kastara seraya telunjuk tangan mengarah ke bawah.
"Eeeh. Laaah." Lagi-lagi terjatuh buah mangganya. Dewandaru muram, putus asa dan turun dari pohon. Ki Kebomas geleng-geleng kepala. "Coba kau perhatikan cucumu itu!" Ujar Ki Kastara.
"Mana mungkin dia tidak putus asa, sedang yang dilakukannya sudah sangat benar. Andai itu aku, mungkin sama seperti Dewandaru." Sahut Ki Kebomas menegaskan.
"Bukan! Bukan itu maksudku." Kata Ki Kastara. "Kau kurang begitu teliti." Katanya lagi.
Ki Kebomas keheranan dan gagal paham. Dewandaru masih mengumpulkan empat mangga yang terjatuh tadi. Sesaat, Empu Akatara mendatangi mereka berdua.
"Jika benar dugaanku, seperti yang Ki Kastara rasakan. Ada baiknya aku segera berkemas." Sapanya sembari duduk di antara mereka. Mendengar itu Ki Kebomas semakin penasaran. Ia merasa, hanya dirinya yang tak tahu maksudnya.
"Panggil cucumu ke sini. Kau pasti segera memahaminya." Kata Ki Kastara. Sesaat, Ki Kebomas melambaikan tangan dan Dewandaru mengerti maksud kakeknya itu, lalu bergegas mendekat.
"Pergi sekarang saja dari tempatku." Gumam Ki Kastara kepada Empu Akatara lagi seperti mengusir. Sontak Ki Kebomas mengerutkan dahi, seraya memandang Empu Akatara yang beranjak dari tempat duduknya.
"Kau, Betul-betul pergi?!" tanya Ki Kebomas. "Untuk kebaikan Dewandaru, apapun kulakukan." Jawab Empu Akatara.
"Sudahlah! Nanti kau mengerti maksudku." Ujar Ki Kastara kepada Ki Kebomas.
Beberapa detik kemudian, Empu Akatara memotong langkah Dewandaru yang hampir saja mendekat. Seraya memegang pundaknya ia berpesan, "Kutunggu kehadiranmu di Karimunjawa. Bersungguh-sungguhlah Nak, kakekmu itu manusia luar biasa." Dewandaru menganggukan kepala. Belum sempat berucap kata, Empu Akatara bergegas pergi meninggalkannya.
Sesaat, Dewandaru sudah bersama Ki Kebomas dan Ki Kastara. "Lengan kananmu itu, coba kau tunjukan pada kakekmu?" Kata Ki Kastara disertai Ki Kebomas memandang lengan Dewandaru keheranan. "Bagaimana mungkin secepat ini Ki?" Tanyanya pucat, seraya menatap tanda biru memenuhi kulit Dewandaru.
"Itu sebab Empu Akatara bergegas pulang. Dia tahu betul Putera Nara melakukan banyak penumbangan pohon-pohon itu menggunakan tongkat kalimasada buatannya. Jika ini tak dihentikan, sekujur tubuh Dewandaru akan penuh dengan tompel biru." Ujar Ki Kastara.
"Dan tentu, akan sangat sulit mantra-mantra lain masuk ke dalam tubuh Dewandaru! Dengan begitu, Putera Nara tidak akan mengalami kesulitan lagi saat menaklukan pohon besar yang menjadi target utamanya?" Sahut Ki Kebomas memandang Ki Kastara.
"Benar sekali Ki. Tongkat kalimasada milik Putera Nara bukan untuk menaklukan pohon besar itu. Tapi hanya sebagai perantara saja. Jika pohon-pohon kecil di sekitar pohon besar itu musnah." Ujar Ki Kastara tersengal. "Dia tak lagi membutuhkan tongkat kalimasada. Kemudian, ia akan sangat mudah menumbangkan cukup dengan mantra uragapati."
"Dan Empu Akatara, mencoba berusaha keras melumpuhkan kesaktian tongkat kalimasada. Seraya memberikan ruang untuk kita memberi mantra-mantra sakti ke tubuh Dewandaru." Gumam Ki Kebomas memastikan sungguh-sungguh.
"Cerdas sahabatku yang satu ini. Kau betul-betul lulusan terbaik yang pernah dimiliki Padepokan Inggil Giri." Kata Ki Kastara memuji.
Dewandaru semakin tak memahami apa itu tongkat kalimasada. Lalu, apa itu pohon besar dan siapa itu Putera Nara kemudian apa hubungannya. Belum lagi arti warna biru yang sudah memenuhi lengan kanan. Aduh, Otak di kepalanya terasa mau pecah. Sesekali ia pejamkan mata dan menghirup napas dalam.
Sesaat, tangannya meraih mangga yang masak pohon itu, mengupasnya, lalu membagikan kepada Ki Kebomas dan Ki Kastara. Mereka berdua tersenyum melihat itu. Suasana sunyi pecah seiring dengan rasa manis buah mangga. Sedang Dewandaru, hatinya masih diliputi tanda tanya, setengah penasaran, setengah keheran-heranan.
Cerpen Dewandaru
8. Pohon Besar dan Tompel Biru
Senin, 06 Juni 2022
Henri Koreyanto
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H