Mula-mula dirabanya dari kaki hingga pundak, tak ada apa-apa. Diulangnya lagi pelan sangat pelan, namun ia keheranan saat tangannya meraba di bagian lengan atas Dewandaru menangis, lalu dilepasnya dia tersenyum. Dirabanya lagi dia menangis, dilepasnya lagi dia tersenyum.
Sontak dengan perlahan lelaki tua membuka selimut batik warna coklat yang membedung Dewandaru. Sedikit demi sedikit mulai terlihat jelas, dari lengan atas hingga telapak tangan kanan kulitnya berwarna biru seperti bekas sengatan atau gigitan hewan beracun.
Lajaluka yang menyaksikan ini kemudian menyapa, "Kut-Kut?"
Kedua tangan lelaki tua bergegas memegang lengan atas dan bagian telapak tangan kanan Dewandaru. Mulutnya komat-kamit baca mantra. Cukup lama sekali dengan mata terpejam. Setelah merasa yakin, lelaki tua membuka mata. Tetapi apa yang didapat, warna biru yang menyebar di kulit tangan kanan Dewandaru tak sepenuhnya kembali normal seperti layaknya kulit manusia biasa. Lelaki tua mengeluarkan napas dalam melihat Dewandaru malah tersenyum-senyum.
Lagi-lagi Lajaluka mendesiskan suara lagi keras, "KUT-KUT?"
Lelaki tua mencoba menenangkan burung hantunya dan menjelaskan. "Tak apa Lajaluka, aku hanya mencoba mengembalikan warna kulitnya. Itu semata agar dia tak mudah dikenali orang yang memusuhinya." Dengan tatapan yang penuh dengan kebanggaan "Bayi ini menyimpan dua kekuatan besar. Dari orang tuanya dan kekuatan mantra kolobra naja tentu tak mungkin ada lawan yang bisa menaklukannya."
Mendengar itu, lagi-lagi Lajaluka mengeluarkan suaranya "Kut-kut-kut." Sembari mengibas-ngibaskan sayapnya, tanda bila dia pun turut bahagia. Lelaki tua mengembalikan bedungnya seperti sedia kala, lalu menimang-nimangnya hingga tak terasa bayi sakti itu tertidur lelap.
Cerpen Dewandaru
2. Racun Naja Tanda Kesaktian
Senin, 16 Mei 2022
Henri Koreyanto
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H