Gelap, gelap sekali. Betul, memang gelap. Adakah ketakutan yang kau rasakan, mungkin semacam kengerian atau kesepian. Sepertinya, aku bahagia sekali. Hmm, itu artinya kau begitu menikmati apa pun situasinya. Ya, ya, Seperti itu lah.
Oke, saatnya.
Ah,bersabarlah kawan. Coba kau dengar itu, hmm, aku mendengarnya, cukup jelas sekali.
Baiklah-baiklah, ini saatnya. Apa yang kau katakan tadi coba ulangi. Ayolah ini memang sudah saatnya. Jangan paksa aku, aku menikmati ini. Ooo nggak bisa kawan, ini sudah waktunya. Aku tawar bolehkah. Nggak, nggak bisa kawan sudah waktunya.
Jangan sekarang, tapi aku tak ingin mendengarnya. Memang apa yang kau dengarkan coba beritahu aku.
Baiklah, begini.
Ya, suara itu seperti tak asing di benakku. Dentuman mesin-mesin jahanam, memekikan telingaku yang masih rentan. Namun ada sesuatu yang membuatku tenang, suara itu aku begitu mengenalnya, jauh ketika belum mencapai daun pintu. Suara lirih mirip takbir, doa-doa, dan wirid. Kemudian berulang lagi hingga saat ini, takbir, doa-doa, dan wirid. Menyambutku penuh suka cita.
Namun, cahaya yang mulai memasuki celah daun pintu itu membuat silau. Aku tak mampu membuka mataku lebih lebar lagi. Dan, aku seperti merasakan badan ini bersiap meluncur. Tentu engkau lebih tahu sebuah meriam, coba kau lihat peluru itu siap meluncur di lubang larasnya.Â
Benarkah, Upss... Buum...
Jangan kawatir kawan, aku bersamamu. Kuasai badanmu, cobalah dengan matamu tatap itu, keluarkan suaramu sapa mereka. Percayalah, aku bersamamu.
Kawan, tolong aku, tolong. Aku harus bagaimana, ayo kawan jangan tinggalkan aku, mendekatlah, mendekatlah.
Bagaimana? Masihkah kau kebingungan, tunggu dulu kawan, cobalah untuk mengenali semuanya, hari ini milikmu seutuhnya. Aku di dekatmu, kenali aku nanti bila sudah waktunya kita bersulang.