Mohon tunggu...
Henri Koreyanto
Henri Koreyanto Mohon Tunggu... Buruh - Kuli Kasar

Sedang menjalin hubungan baik dengan Tuhan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Menunggu Kedatangannya

13 Desember 2021   12:08 Diperbarui: 20 Desember 2024   19:31 478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Menunggu Kedatangannya

Langit berpayung mendung pekat abu-abu datang begitu cepat. Diiringi dendang suara gemeruh kilat bersahutan menakutkan. Menambah gairah angin berhembus kencang menari-menari hingga nyiur meliuk-liuk seperti hendak jatuh terkulai tak berdaya di hamparan pasir putih Dusun Nelayan.

Dadanya semakin berdegup cepat, jari jemari bergetar dan kaki terus menghentak tak beraturan. Sorot matanya terus mengarah ke hamparan laut lepas. Belum muncul juga sesosok yang ditunggu-tunggunya.

Tak sabar hatinya, ia bangkit Beranjak dari tempat duduk potongan batang pohon kelapa. Diraihnya kayu-kayu bakar, ia pantik api berkobar ditaruhnya panci di atas. Dimasaknya air tawar hingga panas.

Dilihatnya jendela yang melambai-lambai karena angin kencang. "Aih," ujarnya. Dengan cepat ia meraihnya, menutup rapat lalu menguncinya.

Baru dua langkah tak seberapa jauh dari daun jendela terdengar ribuan air hujan turun ramai mendendang irama melalui atap rumah.

Hatinya begitu cemas. Detak jantung terus berdenyut melaju kencang. Hinggap pikiran was-was yang tiada jelas.

Ia taruh tubuhnya lalu duduk sembari memandang lagi ke laut lepas, mengharap Abah Emak segera datang. Teringat tawar air yang dimasaknya mendidih dia angkat dan disiapkannya bak hitam mirip baskom biasa digunakan mencuci kaki Abah Emaknya. Ritual sakral menyambut Abah Emak ketika pulang melaut.

Hujan lebat mulai mereda berganti dengan gerimis kecil menyapa. Masih ditunggunya penuh setia kehadiran orang tua. Hingga datang gelap gulita. Terdengar suara azan magrib berkumandang, ia bergegas menyiapkan baju koko lalu sarung dan mukena milik Abah Emaknya di lantai dekat dipan kamar.

Semangatnya belum juga padam, masih setia menanti kedatangan. Nyalinya tak pernah surut, selalu pasang seperti air laut, sesekali ia tengok hingga ke bibir pasir putih pantai. Tak juga tampak sekelabat atau tanda-tanda kedatangan itu.

Bergegas langkah kakinya menuju rumah. Ditutupnya pintu belakang dengan pelan dan di taruhnya lampu petromak di meja. Tak lama telinganya menangkap suara. Suara ketukan dari pintu kayu, ditolehnya ke arah pintu belakang dahinya mengkerut. Tak biasa Abah Emak datang melaut lewat pintu depan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun