Rase masih terus berlari, berlari dan berlari tanpa kenal lelah. Yang ada di pikiran hanya bagaimana secepat mungkin bertemu dengan Paman Kancil.Â
Setiap kali perutnya berbunyi, tanda lapar, ia tak menghiraukan. Bahkan, langkah kakinya semakin cepat. Semangatnya menggelora, tekadnya bulat.
Hingga, langkah cepat itupun harus terhenti di sebuah tanah hamparan yang sangat luas. Dipenuhi rumput sabana nan hijau lebat. Semilir angin bertiup sepoi-sepoi di kelilingi perbukitan.
Di tengah-tengah hamparan rumput sabana terdapat pohon beringin yang sudah tua. Batangnya terlihat kokoh berdiri. Di bawahnya terdapat potongan-potongan kayu.
Diliriknya dari balik pohon beringin itu, Rase berjalan pelan dengan berjinjit. Terlihat punggung seekor binatang, bersandar dan terpejam. Bulunya berwarna coklat bergaris hitam. Sepertinya Rase mengenal sosok itu.
"Kuw, Kuwuk...?", sapanya pelan. Kuwuk yang sedang duduk kebingungan, kehilangan arah selatan. Sontak matanya yang tertutup, membelalak tak percaya, bahwa itu adalah saudaranya Rase.
Tak menunggu waktu lama, mendadak Kuwuk langsung loncat memeluk Rase. Rase pun menyambut pelukan itu, dua sahabat lama pun bergulung di hamparan rumput sabana. Terdengar suara saling bersahutan, "Rasee!", "Kuwuuuk!", "Rase temanku!", "Kuwuk sahabatku!".
Berlinang lah air mata kebahagiaan diantara dua sahabat ini. Mereka saling bercerita masa-masa bahagia. Masih di hamparan rumput sabana. Terik matahari tak menghalangi kemesraan dua sahabat ini untuk beranjak. Sudah tak ada lagi duka lara, yang ada hanya kebahagiaan semata.
Namun seketika, kebahagiaan itupun harus lenyap, Rase tak bisa menyembunyikan perasaan. Tiba-tiba terlihat mengalir pelan air mata, Kuwuk pun memeluk erat sahabatnya ini dan bergumam "Sabarlah sahabatku. Kita bernasib sama, tekad kita sama. Berjumpa paman Kancil. Hanya paman Kancil harapan kita".
Keduanya masih saling berpelukan, dan tangan Kuwuk tak henti-hentinya mengelus punggung Rase.
***
Tiba-tiba dari arah selatan terlihat beberapa ranting pohon bergoyang-goyang, daun-daun berguguran. Terdengar loncatan hentakan kaki, hanya saja suaranya tak seperti kuda. Tubuhnya tak kecil dan tak terlalu besar.Â
Yang muncul pertama kali, terlihat warna kulitnya orange, memiliki garis putih di bagian bawah perutnya hingga paha kaki. Punggungnya pun sama, terdapat warna putih, hanya saja bukan bentuk garis, akan tetapi bulat-bulat.
Spontan Kuwuk dan Rase pun berteriak, "Paman Kanciiiilll !". Kancil pun berlari mendekati asal suara, dia mengenal betul suara anak-anak itu dan membalas suaranya "Raseee !, Kuwuuk !."
Dengan loncatan yang sangat tinggi Rase dan Kuwuk jatuh di pelukan Kancil. Dipeluknya erat-erat. Air mata mengalir bagaikan hujan lebat, membasahi tubuh Kancil. Suara sesenggukan tangis mengalahkan petir yang menyambar bumi.
Bagi Rase dan Kuwuk, Kancil adalah orang tua kedua mereka.
Dengan pelan Kancil menyapa Rase dan Kuwuk. Membesarkan hati mereka berdua. Dan tak henti-hentinya bercerita, masa-masa indah bersama ayah mereka.
Kancil tak menyinggung cerita tentang perlawanan panglima Harimau dan panglima Citah kepada mereka. Itu semata, agar Rase dan Kuwuk tetap memiliki semangat dan tak berputus asa.
Kancil hanya mengatakan, kedatangannya ke alun-alun hanya ingin membantu sahabatnya Musang Luwak dan Garangan. Namun ia dan pasukan kancil tak sendirian. Akan ada paman Bajing dan sejumlah pasu...
Gemeruduk... gemeruduk... gemeruduk...Â
Bumi alun-alun mendadak bergetar, seluruh binatang kecil keluar berkumpul di pinggir alun-laun, semua takjub melihat puluhan pasukan gajah dan badak. Dengan Burung-burung yang mengiringi kedatangan mereka. Terdengar suara lantang Bajing dari kejauhan, "POHON BERINGIIINNN...".
Kancil dan sejumlah pasukan saling merapatkan barisan. Menyambut kedatangan Bajing bersama pasukan gajah dan pasukan badak.
Tepat di depan Kancil, pasukan gajah dan pasukan badak berhenti. Gajah menaikkan belalainya, badak menurunkan kepalanya. Tanda hormat kepada para sahabatnya. Bajing turun dari punggung jenderal Gajah. Mendekati sahabatnya Kancil. Dengan cepat Kancil menyambut dan memeluk erat sahabatnya ini.
"Dirimu masih seperti yang dulu, tak berubah sedikit pun" Â gumam Bajing dengan wajah berseri-seri. Kancil membalas sapaan Bajing dengan senyum bahagia, sambil menoleh ke sisi bawah kanan dan kiri.
Bajing pun terkejut, berkata "Ya ampun, Rasee!, Kuwuk!, sini... sini... Keponakanku yang gagah-gagah". Bajing mendekap mereka berdua dan mengelus punggung Rase dan Kuwuk.
Sudahlah jangan menangis. Anak laki-laki harus kuat, atau hilang kegagahan kalian. Kata Bajing menghibur keponakannya ini.
Kemudian, Rase dan Kuwuk menanyakan keadaan saudaranya Kekes dan Bledug. Bajing pun menjawab, Kekes dan Bledug baik-baik keadaannya, saat ini mereka bersama paman Tupai.
Rase pun bercerita bila dalam perjalanan sempat bertemu paman Tupai. Bajing pun mengelus kepala Rase. Betul, ia pun sudah mengetahui semua cerita tentang keadaan di wilayah timur dari paman Tupai saat bertemu Rase.
Tak lama setelah bincang-bincang itu, Kancil memanggil Kampret. Memerintahkan agar segera mengantar Rase dan Kuwuk ke wilayah selatan untuk menemani anaknya Kenti.
Dengan bergegas Rase dan kuwuk meninggalkan paman Kancil dan paman Bajing. Sambil berlari mengikuti Kampret, mereka berdua berteriak menitipkan salam untuk ayah-ayahnya.
***
"Aku mendapat kabar dari Kampret, ada perubahan rencana" tanya Kancil dengan serius kepada Bajing. "Betul. Aku dan jenderal Badak membantu Garangan. Sedangkan dirimu pergilah ke arah utara membantu Musang Luwuk bersama jenderal Gajah" jawab Bajing dengan tegas.
Dahinya mengerut "Bagaimana bisa kita melawan pasukan buas dari negeri belantara tandus dengan cara berpisah. Bukankah dengan bersatu kita mampu menaklukan mereka dan menutup pintu masuk wilayah utara. Dengan demikian, kita bisa menghentikan raja Singa untuk tak terus menerus mengirim pasukan ke wilayah utara." kata Kancil dengan nada pelan demi meyakinkan sahabatnya Bajing.
"Ini sudah menjadi keputusanku. Bukankah dirimu pernah berkata untuk menghargai pendapat!" desak Bajing kepada Kancil agar rela mengijinkannya pergi ke wilayah timur.
"Aihhhhsss. Andaikan engkau tau maksud hatiku. Menutup pintu masuk wilayah utara dan..." gumam Kancil, yang tiba-tiba Bajing memegang pundak Kancil dan berkata, "Aku percaya padamu sahabatku. Dirimu memiliki kecerdasan dan pengalaman. Di belakangmu ada jenderal Gajah yang tak diragukan lagi keberaniannya. Aku memberikan yang terbaik padamu"Â
Kancil beranjak dari tempat duduk yang terbuat dari potongan batang kayu. Bajing pun ikut berdiri, kemudian berkata "Percayalah..." gumam Bajing meyakinkan Kancil.
Kancil manggut-manggut pasrah dengan keputusan sahabatnya ini.
Bajing pun mendekati jenderal Gajah, "Kawal Kancil dan pasukannya, ikuti apa perintahnya. Kerahkan seluruh kemampuan yang ada" gumam Bajing kepada jenderal Gajah. Gajah pun membelai badan Bajing dengan belalainya.
Kemudian jenderal Gajah dan pasukannya mendekati Kancil, mereka bersiap-siap pergi melangkah ke wilayah utara. Sedangkan Bajing, bersiap-siap melangkah menuju wilayah timur dengan jenderal Badak dan pasukannya.
Tak terasa senja mulai datang, matahari pun mulai tenggelam di ujung barat. Kancil dan Bajing pun akhirnya berpisah. Mereka Menuju pembagian wilayah masing-masing sesuai perundingan. Suara dari kaki pasukan gajah dan pasukan badak yang menggelegar itu terulang kembali. Terdengat sorak sorai dari binatang sekitar meneriakan harapan kemenangan. Langit merah pun menutup kesepian di alun-alun rimba raya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H