"Aduh, sudahlah Jo. Nggak usah rewel dengan tanda baca. Cuma karena masalah sebuah kata yang diapit tanda petik saja loh, kok ribet banget kamu jadi editor. Ini cuma catatan picisan" gumamku.Â
Sejenak Paijo terdiam. Kemudian tubuhnya beranjak meninggalkan meja kerja. Kulirik langkah kaki menuju lantai 2.
"Walah, piye iki" gumamku. Jangan-jangan Paijo ngambek. Maren, bisa-bisa nggak tayang tulisanku.
Marjo dan Tarjo, tiba-tiba memberikan kode mata. Seolah mengingatkan. Sana hibur dia, lain kali hati-hati kalau bicara.
Ya sudahlah, aku mengalah kali ini.
Kususul dia di lantai 2. Kebetulan lantai 2 di tempatku kerja ada tempat khusus untuk barisan perokok.
Kusapa dia, seolah melupakan masalah.
"Jo, gak usah mikir negara. Negara sudah ada yang mikir, mereka orang-orang pilihan" sapaku kepadanya yang lagi duduk santai dengan asap mengepul dari bibirnya.
"Cari inspirasi" balasnya, melanjutkan "Rokok Sam..." dia menawarkan kepadaku,
"Sik Jo. Bingung aku..." gumamku, sembari menundukan kepala.
"Bingung kenapa..., sudah, nggak usah mikir negara. Kan gitu katamu tadi" balas Paijo.
"Ya bingung saja. Pilih bayar cicilan, apa beli rokok dulu ya..." gumamku lemes.
"Dagelan ta kamu Sam. Ya, beli rokok dululah baru bayar cicilan" kata Paijo, sambil matanya melotot.
"Loh kok bisa?" tanyaku terkaget.
"Beli rokok. Hidupin sebatang, dapat inspirasi baru bayar cicilan" jawabnya, melanjutkan "Ini pasti duwitmu kurang yo buat bayar cicilan"
Aku tersimpuh malu, mendengar kata-kata Paijo.
"Sudah gini Saja, rokok punyaku dulu. Nanti siang jam istirahat kita beli sambil bayar cicilanmu" kata Paijo.
"Nggak usah Jo, aku cuma akting. Ta kira kamu masih ngambek sama aku. hehehe..." jawabku.
"Ngowos Sam. Kena 2x aku" katanya senyum-senyum.
Kemudian aku WA Marjo untuk ikut ke lantai 2.
Tak lama Marjo masuk ke ruang smoking di lantai 2 ini. "Ada apa sih, kok ramai ae dari tadi. Nih Sam rokokmu." sambil melempar rokok kearahku.
"Matur suwun yo Mar. Pis, pis" sapaku ke Marjo.
"Halah, pancet ae" gumamnya.
"Mar, kamu beneran sudah nggak merokok?" tanya Paijo. "Kalau aku masih merokok. Seharusnya sebelum ku kasihkan rokok punya si Sam ini, aku ambil sebatang Jo" jawab Marjo.
"Baguslah, sudah pindah ke 4 tak. Jangan kayak aku sama si Sam ini, masih 2 tak" balas Paijo, mengumpakan seperti mesin motor.
"Ya nggak gitu toh Jo, buat perumpamaan" Kata Marjo bijaksana.
Kemudian Tarjo datang menjenguk kami bertiga, "Sudah Po'o rek. Berhenti merokok. Buat kesehatan kalian sendiri, asapnya sampai pekat gini" gumam Tarjo, melanjutkan "Enak seperti aku, semenjak berhenti merokok, bernapas jadi lega."
Aku dan Paijo senyum-senyum sambil mematikan rokok.
Marjo lalu membalas kata-kata Tarjo, "Jangan gitu Tar. Kalau mau berhenti merokok, nggak usah mengumbar tentang kesehatan. Kamu taukan, nikotin dan farmasi nggak bisa berteman akrab. Sudahlah, kalau memang berhenti merokok, nggak usah pakai alasan," melanjutkan "Biar suatu hari nanti, pas kembali merokok juga tanpa alasan. Nggak saling klaim dan nggak malu-maluin. Buntutnya panjang loh, kalau mau bahas ini. Toh Paijo sama si Sam menghormati kita. Tuh liat rokoknya dimatikan"
Tarjo manggut-manggut mendengar penjelasan Marjo yang bijaksana ini.
"Eh Jo, kamu mau ta berhenti merokok, beneran ini, serius aku...? Tanya Tarjo dengan wajah serius.
"Yo jelas loh, pingin juga aku berhenti merokok" jawab Paijo meladeni keseriusan Tarjo.
"Lihat belakang bungkus rokokmu?" pinta Tarjo.
Paijo pun menuruti, dan menjawab "Terus..."
"Baca tuh baik-baik. Layanan Berhenti Merokok... Bla...bla...bla..." jawab Tarjo.
"Ngowoos, kena lagi aku rek, rek" gumam Paijo senyum-senyum sambil memegang kepala.
Marjo dan aku hanya bisa terbahak-bahak, melihat kelakuan mereka berdua.
"Wis, wis. Makaryo, makaryo. Ayo kerja lagi, cari duwit" gumam Paijo.
Kami pun beranjak dengan senyum dan hati gembira, melepas penat walaupun sejenak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H