Wanita itu betul-betul menanti kedatanganku. Menyambut dan mempersilahkan duduk, tak lupa menawarkan air mineral gelas yang sudah tersedia di tengah-tengah meja.
Kusambut kebaikannya, aku pun memilih duduk di kursi dekat pintu keluar, sembari bersapa dan kunikmati tawaran air mineral gelas itu.
Tubuhnya tak terlalu tinggi, kurang lebih 150 cm. Potongan rambut pendek, badannya ideal, tak terlalu gemuk dan tak terlalu kurus.
Kulihat disetiap dinding rumah terdapat banyak barang antik. Dan diantaranya, ada senjata adat berbagai suku. Ada tombak, panah, perisai, pedang, clurit, mandau, bahkan keris.
Contoh pluralisme dalam bentuk barang aku menyebutnya.
Suaminya telah tiada sejak dua bulan menjalani masa pensiun. Jadi wanita itu kini berstatus janda berusia 50an yang hidup di bawah naungan bendahara negara.
Tak lama setelah bersapa ria, dia pun mengungkapkan dengan tekad bulat, apa yang sudah menjadi isi hatinya. Supaya aku segera angkat kaki dari tempat kos ini. Ini berlaku tidak hanya kepadaku, tetapi seluruh kepada para awak penumpang legal yang ada di kos ini.
Dia mengungkapkan lagi, kelak tempat kos ini akan dijadikan kos untuk para wanita, dan saat ini adalah masa-masa sterilisasi.
Artikulasinya dalam penyampaian beritanya, betul-betul membiusku, belum lagi retorikanya yang memukau. Tapi sayang, diksinya kali ini kurang pas di hatiku.
Hingga dia blunder berani menyimpulkan sesuatu yang tak jelas keberadaannya.Â
Aku adalah seorang mahasiswa yang tak mampu beradaptasi dengan keadaan. Kurang memiliki kecakapan, kurang pergaulan (kuper) kegiatan hanya keluar masuk masjid. Dan di akhir penilaian terhadap diriku. Dia berkisah betapa kini marak di media masa, dengan berita aksi bom bunuh diri di sejumlah daerah yang dilakukan oleh sekelompok orang, yang mengatasnamakan kebenaran. Dan hal itu betul-betul mengusik hatiku, betapa bahasa tubuh memang tak mampu berbohong. Wanita tua itu seolah berkata, hal di atas tersemat kepadaku.
Tapi aku tak berburu untuk sakit hati. Hingga ini mungkin jawaban dari apa yang wanita itu ungkapkan. Sebelum berpamitan padanya, aku meniru apa yang dia lakukan selama perbincangan. Sebungkus kotak berwarna putih merah bermoto, veni vidi vici di meja dekat dengannya. Aku memberanikan diri untuk meminta, dan dengan terkaget wanita itu mempersilahkan. Kuhisap dalam-dalam sebatang tembakau yang kuminta itu.