Seperti biasa di awal-awal bulan agustus cuaca di kota Malang mendadak dingin. Dinginnya tak seperti hari di bulan sebelumnya, terkadang ada semacam tambahan angin semilir. Ini membuat tubuh Paijo yang kurus kerempeng semakin tebal berselimut kain.Â
Kita yang asli orang luar pulau yang bahkan hidup di garis khatulistiwa tentu tak biasa dengan cuaca seperti ini. Bisa jadi kulit muka di waktu siang gelodoki hampir menyerupai tidur berteman limpahan air liur.
Untuk menghadapi cuaca yang se'ekstrim ini, aku punya strategi sendiri. Selimut, jaket dan celana kain, ditambah dengan kerpus penutup kepala, jersey seperti ini hukumnya wajib (fardu ain) bagi orang seperti diriku.Â
Bila memang sudah tak lagi kuat menahan dinginnya cuaca, terpaksa kopi panas dan beberapa tembakau sigaret kretek mesin (SKM) kunikmati untuk menyeimbangkan suhu badan.
Kopi panas kubuat lumayan banyak, dan tanpa sengaja aromanya singgah di hidung Paijo sambil menggumam,Â
"Heeemm ambune kopimu cak... segeer..."
"Jare turu jo..."
"Walah, adem'e kaya' ngene piye arep iso turu angler"
"Mulakno toh... ndang lulus, ndang rabi, penak adem-adem ngene jo..."
"Omongan gak mutu cak..."
"Heu... heu... ngtes awakmu jo... ternyata isih duwe semangat kuliah"