Mohon tunggu...
Henny Zainal
Henny Zainal Mohon Tunggu... -

IRT yang memiliki pekerjaan sampingan sebagai Aktivis ASI dan Dokter Umum

Selanjutnya

Tutup

Edukasi

Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI), Relakah Anak Kita Menjadi Tumbal?

11 Mei 2012   06:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:27 598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Inilah sedikit ringkasan cerita mengenai anak saya.
Saya minta doanya untuk semua agar saya masih dipercaya Allah untuk bisa punya anak lagi yang sehat, panjang umur & bisa menemani kami sampai akhir hayat kami. Aamiin..
Semoga cerita ini bermanfaat.
Maaf jika ada kesalahan penulisannya.
Rudiyanto&Siti Afifah
Jogyakarta, 10mei2012

KOMENTAR SAYA »
KIPI.. Satu nyawa bayi bukanlah mainan.. Jika memang vaksin aman, maka seharusnya tidak ada satupun nyawa yang harus dikorbankan. Cukup pantaskah alasan mengorbankan satu demi lebih banyak anak lagi? Jika bersandar pada teori "herd immunity / kekebalan komunitas"

Bgm jika yg dikorbankan adl anak kita sendiri, maukah kita? Bagaikan memberikan tumbal kepada seorang raksasa demi menyelamatkan penduduk satu desa.

Ayah bunda tentunya masih ingatkan kisah legenda anak2?
Bahkan akhir kisah itupun menyampaikan pesan moral bahwa tidak satupun nyawa manusia pantas utk menjadi tumbal demi keselamatan sebuah kelompok. Nah selamat berpikir dan berdoa..

Faktanya di lapangan kasus KIPI itu banyak sekali :-) Namun fakta di lapangan adl tidak semua kasus KIPI diakui sbg KIPI, hanya sekedar dinyatakan kebetulan atau bahasa kerennya "coincedence yang menurut seorang dokter anak hanyalah 0,9% atau ada penyakit ikutan (silent disease).

Yang anehnya, bukannya dilakukan pemeriksaan lebih lanjut seperti otopsi, untuk memastikan bahwa ini bukan KIPI - tp mereka tetap bersikukuh bahwa ini kebetulan. Korban KIPI paling banyak muncul di daerah perifer atau pinggiran, bukan kota besar.
Sayang tenaga kesehatan terlalu sombong untuk mengakui bahwa vaksin memiliki resiko. Minimal mengakui bahwa vaksin tidak 100% aman dan tidak 100% melindungi. Mereka tetap saja berkoar-koar vaksin aman, aman, dan aman.
Apakah menunggu anak kita jd korban untuk sadar bahwa vaksin terlalu beresiko?

Belum pernah dilakukan penelitian yang nyata dimana membandingkan kesehatan anak yang tanpa vaksin dan berasal dari orangtua yang tanpa vaksin dengan kesehatan anak dengan vaksin dan berasal dari orangtua dengan vaksin.

Pengalaman saya di lapangan, sebagai awal memutuskan untuk menolak vaksinasi adalah faktanya anak-anak tanpa vaksin lebih sehat daripada anak dengan vaksin. Dalam 1 tahun mengalami 10x common cold/flu/demam adalah menunjukkan adanya masalah dalam sistem imunitas anak.
Setelah membaca kisah bunda Afi diatas, saya jadi prihatin dengan kalimat ini »
"@dr_p:Knp lumpuh krn polio,radang otak krn tbc,leher dilobangi krn difteri ga ditakuti,tp KIPI yg jarang n ringan malah lbh ditakuti?"
Hmm.. Iya sih, bayi yang meninggal adalah kasus ringan karena orangtua tidak perlu sibuk melayani seumur hidup anaknya yang lumpuh total pasca vaksinasi.
Semakin prihatin dengan pendapat dr dokter anak inisial, F »
Vaksin tanpa KIPI tuh gimana caranya sih? Minum jamu aja bikin banyak kencing kok. Saya aja minum wedang jahe sendawa melulu. 100% kebal? Superman aja ada titik lemahnya kok.

Well doc, sebagai informasi terapi herbal memang memberikan reaksi kencing lebih banyak. Semua herbalis paham akan hal tersebut. Miris sekali jika membandingkan vaksin dengan weddang jahe (???). Superman hanya kisah fiktif alias khayalan, sedangkan KIPI adalah kisah nyata. Ini bayi loohhh.. Bukan batuu yaahh..

So, jadilah orangtua yang kritis.. Pelajari dengan baik dan berdo'a.

Your Kids, Your Future, Your Choice..

Pray and Learn carefully..

Think Twice before you make a decission..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun