Oleh: Henny Purnama Sari
June 26, 2012 | 2 Comments | Filed under: On-Loc Di hari kedua shooting di Pengging, Boyolali, sutradara dan kru produksi Finding Srimulat (FS) merasasurprised dan dibuat tersenyum melihat Mamiek Srimulat sudah stand by di lokasi sebelum seluruh kru tiba. Ini luar biasa sebab bertolak belakang dengan kejadian satu hari sebelumnya. Di hari pertama shooting di Boyolali dan Solo, personil berambut highlight di kedua sisi kepala itu tidak hadir di lokasi sehingga menyebabkan jadualshooting hari itu terpaksa dibatalkan. Barangkali kehadiran paling pagi di hari kedua ini adalah sebuah penebusan dosa karena telah membuat kecewa seluruh pemain, kru, dan sutradara. Namun untunglah rasa kecewa seluruh pihak yang terlibat produksi FS cair seketika di hari itu. Sebab biar bagaimana pun shootingtetap harus berjalan sesuai jadual dan mereka harus bermain sebaik mungkin di film ini. Di luar itu, tentu juga karena sifat pemaaf para pemain, kru, dan sutradara serta rasa persaudaraan yang terpelihara dalam kerja bersama ini. “Semoga seluruh personil bisa terus datang tepat waktu,” harap Pak Sar, panggilan karib Pak Sardjito, sutradara dan manajer Srimulat saat ini. Menurut yang ia alami, biasanya dalam beberapa waktu kemudian akan kumat lagi, tapi dia tidak mau berhenti berharap agar semua bisa berubah lebih baik. Pak Sar bercerita, bahwa kelompok komedi Srimulat ini masih kuat gaya tradisionalnya. Jiwa para pemain masih ala panggung. Mereka masih agak segan dan kesulitan dengan pendekatan modern. “Hanya personil yang sudah pernah main film yang tidak merasa sulit dan aneh dengan retake berkali-kali…,” bilang Pak Sar menyinggung pengambilan gambar yang diulang-ulang pada film. Meski begitu, Pak Sar mengusahakan memasukkan gaya profesional ke dalam Srimulat. Namun, hingga kini sifat tradisional ala panggung masih tetap melekat. Sebut saja soal keterlambatan bahkan ketidakhadiran tadi. Sebelumnya, sewaktu rombongan produksi belum berangkat ke Solo, yaitu saat shooting hari kedua di Bogor, kejadian serupa pun dialami Gogon. Ia ketika itu terlambat datang sekitar setengah hari! Seharusnya hadir pagi, tapi jam 8 malam baru tiba. “Itu bukan terlambat lagi namanya,” komentar Pak Sar yang kerap merasa tidak enak dengan pihak produksi MagMA Entertainment. Inti keterlambatannya yang sangat itu menurut Pak Sar, lantaran personil Srimulat yang berkumis ala Asmuni dan berambut tersisa di tengah kepala itu masih punya pekerjaan yang belum dituntaskan. Namun, sayangnya, jamnya ternyata tidak ia ketahui dengan pasti. Sehingga meskipun dia sudah datang pagi, tapi ternyata pekerjaan tersebut dimulai sore, sehingga tentulah sangat terlambat datang ke lokasi shooting FS. “Kalau sudah begitu, saya yang pusing. Diteleponi Mas Imron, Pak Utoyo…. Saya bilang, ya, ya….,” komentar Pak Sar sabar. Tapi untunglah, sejak kejadian itu, personil yang didaulat untuk menari dalam adegan-adegan di stasiun Solo Balapan itu tidak pernah lagi datang terlambat. Selalu tepat waktu hingga shooting berakhir. Aktingnya pun memuaskan. Selalu berusaha yang terbaik. Sutradara sampai terkesima dengan perubahan dan konsistensinya untuk lebih baik dan profesional dalam bekerja. Perubahan seperti inilah yang juga diinginkah Pak Sar dan tentu semua pihak. Perihal kontrak kerja, sudah diurus masing-masing pemain, termasuk masing-masing personil Srimulat. Jadi masing-masing mereka pasti tahu apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan, apa yang boleh dan tidak boleh, terkait pasal-pasal di dalamnya. “Masalahnya, tidak semua personil mau membaca tiap pasal kontrak,” terang bapak berkumis dan beralis lebat ini. Biar bagaimana pun Pak Sar tetap mencoba menerapkan gaya profesional setahap demi setahap dalam manajemen Srimulat. Ia mengaku banyak memelajari gaya manajemen profesional dari berbagai sumber, termasuk dari kelompok seni Swara Mahardhika pimpinan Guruh Soekarno Putra, yang kebetulan juga menjadi salah seorang pendukung penting FS. Sewaktu pertama memerhatikan kelompok seni itu, Pak Sar merasakan perbedaan besar dengan gaya Srimulat yang masih tradisional. “180 derajat bedanya,” nilainya. Tetapi, dari FS mulai bisa terlihat adanya perubahan. Para personil yang merasa bersalah, keesokannya tanpa malu-malu menebus kesalahannya itu dengan bersikap lebih profesional. Semoga seterusnya demikian. Secara khusus, gaya profesional juga sudah mulai diterapkan beberapa personil Srimulat sejak lama. “Ini sebetulnya sudah diterapkan Kadir, Nunung, Tarzan, dan Ibu Djujuk,” ungkap Pak Sar. Meskipun, menurut Pak Sar lagi, di antara mereka yang profesional ini dulunya juga kuat ciri tradisionalnya bahkan masih ada yang tersisa –meski sedikit– hingga sekarang. Tetapi, karena mereka mau terus memperbaiki diri, maka perubahan ke arah profesional bisa terlihat. Nah, ternyata tidak ada yang tidak mungkin dilakukan, ya, jika diawali dari niat yang kuat. Pak Sar pasti menyadari ini sejak semula. Itulah makanya dia terlihat begitu sabar. “Yah, namanya juga anak wayang. Di mana-mana yang namanya anak itu, ya kadang suka bandel dikit, manja dikit. Sudah pahamlah. Tinggal bagaimana cara kita me-manage organisasi anak wayang ini,” pungkas Pak Sar kalem. Maju terus, Pak, dan sukses untuk Srimulat! - (Henny FiXiMiX)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H