Aku memanggilnya Ibuk bukan Ibu, entah mengapa aku suka melafalkannya demikian. Aku mengagumi sosok perempuan cantik dan sangat kuat ini. Ibuk adalah segalanya bagiku.
***
Pagi ini seperti pagi beberapa bulan yang lalu, ibuk sudah berdandan rapi. Maksudku dengan berdandan rapi, ibuk sudah mandi dan berganti baju, tidak memakai daster kumalnya. Wajahnya sudah diberi pupur dan lipstik yang dipoles tipis. Sebentar lagi ibuk pasti akan memanggilku, untuk mengantarkannya ke kampung sebelah ke rumah nenek, ibu dari ayahku.
Sudah beberapa bulan ini ayah berada di rumah nenek, setelah pergi dari pengembaraannya yang lama. Aku menolak kehadiran ayah di rumah kami, walaupun ketika itu ibuk memohon hingga menangis agar aku melapangkan hati untuk menerima ayah. Hatiku sudah mengeras seperti batu, tidak ada tempat untuk ayah di dalam rumah ini, apalagi di dalam hatiku.
***
Aku masih remaja ketika mendengar orang-orang bercerita kalau ayah sudah kepincut perempuan dari kampungnya dan pergi meninggalkan aku dan ibuk.
Berdasarkan cerita yang dituturkan oleh orang-orang yang mengenal keluarga kami, kejadian perselingkuhan ayah berawal dari suatu kunjungan ayah ke rumah nenek dan tidak diduga saat itu ayah bertemu lagi dengan perempuan yang pernah dicintainya ketika masih remaja. Perempuan itu datang kembali ke kampung itu setelah bercerai dari suaminya. Cinta lama bersemi kembali, itulah yang terjadi antara ayah dan perempuan itu. Aku muak mendengar cerita itu, karena aku harus mendengarkannya berkali-kali dari mulut yang berbeda. Tetapi aku tidak pernah mendengar sekalipun cerita tentang ayah dari mulut ibuk. Setiap aku bertanya, ibuk hanya diam. Dan, aku menjadi sangat membenci ayah.
"Seruni, tolong antar Ibuk ke rumah nenek," pintanya. Ibuk berdiri di ambang pintu kamar, telah siap dengan tas dan dandanannya yang sederhana. Pagi ini ibuk terlihat sangat ayu.
"Aku malas, Buk. Aku tidak mau bertemu ayah!" Tanganku sibuk membolak-balik majalah lama yang berada di meja. Â Seolah-olah memusatkan perhatianku ke majalah itu. Padahal, itu hanya salah satu jurus untuk menghindari bertatapan mata dengan Ibuk. Sebenarnya itu juga adalah salah satu cara agar Ibuk tidak menyuruhku lagi. Berkali-kali aku selalu menolak permintaan ibuk.
Aku Membenci ayah, merasa marah dengan cara ayah memperlakukan kami dan ada perasaan malu karena ayah tidak bisa membendung perasaan hatinya kepada perempuan itu. Sampai sekarang, aku selalu menyebut dengan "perempuan itu" kepada perempuan selingkuhan ayah.
"Selama ini kamu juga tidak pernah bertemu ayahmu."
"Aku ndak suka!" Kali ini, aku meninggikan suaraku, sesuatu yang selama ini tidak pernah aku lakukan kepada ibuk. Setelah itu, ada penyesalan karena telah melakukannya. Aku melihat ibuk dengan rasa penyesalan yang dalam. Ingin rasanya memeluk ibuk, tetapi aku menahannya. Aku melihat raut wajah ibuk berubah menjadi sedih. "Maafkan aku, Buk," kataku dalam hati.
"Ibuk tidak memaksa kamu untuk bertemu ayahmu, Ibuk hanya minta diantarkan bertemu ayahmu, lalu seperti biasa kamu tinggalkan Ibuk di rumah nenek." Ibuk merendahkan nada suaranya, memohon pengertianku. Aku menghela napas, sebenarnya aku merasa lelah harus berbantah dengan ibuk. Namun, aku ingin membuka jalan pikirannya dan membuat ibuk mengerti bahwa dia juga harus memahami perasaanku.Â
Sampai sekarang ayah telah membuatku tidak percaya dengan laki-laki. Aku selalu menolak setiap ada laki-laki yang memintaku menjadi kekasih. Mereka menjuluki diriku "perempuan dingin". Aku tak peduli. Sampai kapan pun, aku bertekad tidak akan pernah menikah. Lebih baik hidup sendiri daripada menikah dan ternyata mendapatkan laki-laki yang salah seperti ayah.
Aku meradang, "Buat apa Ibuk masih mau mengurus ayah, setelah bertahun-tahun meninggalkan Ibuk. Lalu, tiba-tiba dia datang menangis di kaki Ibuk mengakui salahnya, setelah badannya menjadi renta dan sakit-sakitan. Di mana perempuan yang sudah merebut Ayah dari Ibuk?" Aku melampiaskan semua yang ada di dalam hati. Aku marah kepada ibuk yang terlalu sabar dan nrimo.
"Kamu tahu kenapa ibuk tidak pernah bisa membenci ayahmu? Karena ada kamu di dalam hidup ibuk. Kamu adalah bagian dari diriku dan ayahmu." Ibuk menangis, dan siang ini aku merasa muak melihat air mata itu. Aku mencengkeram tepian meja dengan sangat kuat hingga kuku-kuku di jari tanganku memutih. Aku merasa geram, "Sampai kapan Ibuk akan  mengurus Ayah? Sampai Ayah mati?" Aku tetap tidak mengerti dengan jalan pikiran ibuk.
Ibuk hanya mengangguk, "Aku sudah berjanji di hadapan Tuhan bahwa akan setia dalam suka dan duka, dalam sakit dan senang sampai kematian memisahkan kami," ujar ibuk dengan disertai isak tangis.
Akhirnya, aku tetap mengantarkan ibuk bertemu ayah kemudian meninggalkannya di rumah nenek. Hingga sore menjelang, ibuk akan berjalan kembali ke rumah.
***
Sore itu, kulihat ibuk menangis di kamarnya. Aku datang mendekat.
"Aku sudah selesai menunaikan janjiku. Pergilah, lihatlah ayahmu!" kata Ibuk sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Aku masih belum mengerti dengan maksud ibuk. Aku hanya berdiri mematung. Kalau pembicaraan ini masih tentang ayah, aku merasa lebih baik pergi saja.
"Seruni, pergilah ke rumah nenek. Lihatlah ayahmu," pinta Ibuk sekali lagi.
"Aku ndak mau!" kataku, marah.
"Seruni, ayahmu sudah tiada. Lihatlah dia untuk yang terakhir kali. Kamu adalah sebagian dari dirinya. Ayahmu selalu menanyakan kamu hingga saat terakhirnya. Ayahmu ingin memohon maafmu. Seruni, untuk yang terakhir kali ... Ibuk memohon padamu."
***
Sore itu, aku hanya berdiam di dalam kamar, tak pernah melihat ayah untuk yang terakhir kali. Bagiku, ayah sudah lama mati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H