1. Sulit mengatur waktu untuk meninggalkan anak didik, karena meskipun di laksanakan hari Jumat hingga Minggu, para guru harus mendampingi anak-anak kelas akhir yang akan menghadapi UAN dan UAS. Karena pada hari Sabtu masih ada kelas bimbingan belajar khusus siswa kelas akhir.
2. Tidak mendapat ijin dari pihak sekolah, atau pihak sekolah tidak bisa membiayai pelatihan tersebut dengan alasan guru yang mengajar di sekolah swasta bukan lah guru tetap dan setiap guru bisa mengajar di lebih dari satu sekolah.
3. Selama masa penawaran tidak ada satu orang guru yang berminat ikut secara mandiri, atau membayar biaya pelatihan dari koceknya sendiri
4. Mereka, para guru ini baru akan berangkat jika di sponsori oleh pihak sekolah
5. Mereka, para guru atau calon peserta menyampaikan kepada kami, bahwa mereka akan hadir ke acara pelatihan yang kami selenggarakan hanya jika di sediakan uang pengganti transport dan tidak di bebankan biaya tetapi tetap mendapat fasilitas seperti yang di tawarkan sebelumnya.
Dari sini kami sungguh prihatin sekali dengan pola berpikir para guru-guru tersebut. Sementara di luar sana masih banyak guru-guru di pedalaman dan jauh dari berbagai fasilitas yang harus merogoh kantongnya sendiri guna meningkatkan keahliannya dalam mengajar.
Sementara yang mendapatkan kesempatan untuk ikut pelatihan dengan biaya yang sangat terjangkau masih tega menanyakan apakah kami memberikan uang pengganti transport untuk mereka... Subhanallah sambil menghela nafas panjang dan geleng-geleng kepala mendengar pertanyaan tersebut.
Akhirnya pelatihan tersebut belum bisa kami selenggarkan karena kami belum bisa mendapatkan peserta yang dengan suka rela membagi waktu dan menganggarkan sebagian rezekinya untuk ikut pelatihan.
Selidik punya selidik, ternyata memang seperti itu lah budaya yang berlaku di dunia pendidikan. Setiap kali akan menyelenggarakan kegiatan, apapun bentuk kegiatannya, mereka selalu mendapatkan amplop berisi uang dan berbagai cenderamata lainnya. Terlebih lagi jika yang menyelenggarakan kegiatan ini adalah dari Pemerintah atau Diknas.
Pantas saja, beberapa rekan seprofesi pernah mengatakan hal demikian, “Percuma berbagi dengan guru..., mereka sudah terbiasa hidup di manja, pasti nggak akan berhasil”.
Tetapi usaha kami tidak sampai disitu saja, kami meyakini masih ada guru-guru yang bersedia membuka diri dan menerima kami dengan melakukan banyak penyesuaian.