Mungkin ada sekitar 10-15 anak yang malam itu bermain bersama. Ada yang main petak umpet, dampu, monopoli, loncat karet, ada juga yang main tiup balon, main kembang api sampai main petasan. Inilah suasana di Kampung Jawa Pasar Minggu yang selalu ramai dan meriah dengan kebisingan anak-anak selama bulan Ramadhan.
Atau kalau ada satu anak saja yang belum selesai mengaji, dengan setia mereka berkumpul di halaman rumah sang Ustad. Mereka bermain seperti biasa tetapi entah kenapa mereka pun tetap bisa mengecilkan volume suaranya, sampai teman yang mereka tunggu selesai mengaji.
Tetapi begitu teman yang di tunggu selesai mengaji, entah bagaimana dan apa sebabnya suara anak-anak itu kembali pecah menjadi sangat tidak terkontrol ributnya.
Dan anehnya keramaian itu hanya bisa dirasakan pada saat bulan Ramadhan saja. Setelah bulan Ramadhan berlalu, anak-anak itu seperti enggan keluar, atau mungkin karena sudah lelah bermain seharian.
Ya... biasanya, anak-anak itu hanya bermain setelah mereka pulang sekolah hingga menjelang Azan Mahgrib berkumandang.
Lalu beramai-ramai mereka pergi ke Mushalla untuk shalat Mahgrib berjamaah dan mengaji bersama sudah itu pulang ke rumah masing-masing untuk belajar.
Sementara pada saat Ramadhan, di siang hari sepulang sekolah, mereka lebih memilih untuk tetap di rumah. Dan baru akan keluar rumah biasanya ba’da Ashar untuk membeli jajanan berbuka atau sekedar untuk menunggu datangnya waktu berbuka dengan main monopoli atau karambol atau congklak dan bekel. Rasanya sepanjang hari di bulan Ramadhan jadi penuh semangat.
Bahkan luar biasanya lagi, anak-anak itu tidak memandang perbedaan agama. Ada 2 anak yang beragama Nasrani, mereka kakak adik.
Demi menghormati anak-anak lain yang sedang berpuasa, 2 anak kakak beradik itu pun ikut berpuasa sehari penuh meski tidak ada yang meminta mereka untuk puasa sehari penuh, bahkan sebulan penuh.
Di awal-awal anak-anak yang beragama muslim pun cenderung heran serta menanyakan kenapa mereka ikut berpuasa toh sebagai umat Nasrani tidak ada aturan untuk berpuasa di bulan Ramadhan.Sehingga bisa di maklumi jika mereka tidak puasa. Tetapi kedua anak itu menjawab dengan kalimat yang sangat mudah di pahami, yaitu " laper satu laper semua, minum satu minum semua, adil kan?" singkat, jelas dan benar-benar mudah untuk di pahami sebagai sebuah konsekwensi dari kesatuan dalam keberagaman.
Dan yang lebih luar biasanya lagi ternyata orang tua mereka pun juga ikut puasa mendampingi anak-anak mereka. Kebiasaan itu telah berlangsung bertahun-tahun. Konon sejak mereka pertama kali datang sebagai warga kampung tersebut.