Mohon tunggu...
Henny Hastuti
Henny Hastuti Mohon Tunggu... -

Bekerja sebagai Life Coach

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Teaching with Loving

23 Juli 2013   16:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:09 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Mereka sekeluarga selalu ikut berpuasa selama 1 bulan penuh. Sama seperti yang orang muslim lakukan, waktu imsak datang mereka berhenti makan dan baru akan makan hingga datangnya waktu berbuka.

Pada saat hari raya Idul Fitri pun mereka ikut berlebaran. Meskipun hanya sebatas menyediakan banyak jajanan kecil buat anak-anak muslim yang merayakan lebaran yang nyatanya juga teman anak-anak mereka. Di sediakan juga bergelas-gelas air sirup orson dingin dan per anak mendapatkan 10 lembar uang kertas berwarna merah pun menjadi kenikmatan lain buat anak-anak ini.

Dulu buat anak-anak itu bisa menerima uang Rp. 1.000 sudah sangat senang. Berbondong-bondong datang dari rumah ke rumah untuk berlebaran, saat pulang adalah saat yang di nanti, yaitu menerima uang dari si tuan rumah sebagai tanda saling berbagi. Kebiasaan ini berlangsung di hari pertama dan kedua Idul Fitri.

Menghitung sama-sama, berlomba siapa yang mendapatkan uang paling banyak seraya meneriakan berapa jumlah uang yang mereka dapat Subhanallah... rasanya bahagia sekali.

Saat itu rasanya nggak mungkin bisa di lupakan, setiap ba’da Mahgrib hampir semua anak keluar rumah berduyun berangkat ke Mushalla dengan mengenakan sarung dan topi hitam bagi anak lelaki dan mukenah lengkap bagi anak perempuan. Bersama mereka selalu ada Ibu atau Bapak yang mendampingi.

Berjalan dengan tenang sambil menggandeng tangan orang tua masing-masing, seperti ada sebuah energy yang mengalir dan mampu memberikan rasa aman di keremangan senja.

Selalu ada obrolan ringan dan tawa kecil yang menemani, perjalanan ke mushalla tidak seberapa jauh, tapi mampu mengalirkan kehangatan dan rasa cinta yang sulit untuk di ungkapkan dengan kata-kata.

Sebuah petunjuk dan arahan dari orang tua pun selalu menjadi teman dalam perjalanan tersebut, seperti tidak terasa sebagai sebuah perintah yang memberatkan. Tetapi nyata di patuhi.

Berbaris secara teratur, menempati ruang yang kosong, berdiri sejajar tanpa memandang adanya perbedaan sudah menjadi pemandangan yang lazim di setiap pelaksanaan shalat. Selepas sholat, pun masing-masing bersalaman sambil menebar banyak senyum. Rasanya setiap pandangan seperti memiliki arti keteduhan.

Selepas sholat, bale-bale pun mulai di pasang berjajar memanjang, dan anak-anak itu duduk dengan tertib tanpa mengeluarkan kata-kata sambil mempersiapkan Juz Amma dan Alquran menunggu sang guru datang.

Sekarang dari jauh sudah mulai terdengar anak-anak itu melantunkan sebuah salam dengan irama yang sangat harmonis. “Raa di tubilla hi rabba, Wa bil Islamidina, Wa bil Muhammadin nabiyaw wa rasulla, rabbi zidni ilman war zukni fahma, Aamiiiiiiin...” menandakan bahwa sang guru sudah bersama mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun