Tahun lalu saat di Medan, saya pergi makan dengan beberapa sahabat masa sekolah. Salah seorang dari mereka mengatakan, saya ini sulit sekali diajak makan. Maksud dia, saya terlalu pemilih.
Agak terkejut mendengar komentar itu. Lantas, saya pikir-pikir, mungkin pendapat itu ada benarnya, meskipun cuma beberapa persen. Kenapa hanya beberapa persen? Karena saya merasakan sudah banyak perubahan yang terjadi.
Pengalaman merantau ke JakartaÂ
Kita tidak pernah tahu bagaimana jalan hidup masa depan. Siapa sangka saya harus pindah ke Jakarta karena diterima bekerja di sana. Tinggal di tempat baru dan jauh dari orang tua memerlukan banyak penyesuaian.
Saya pikir, semua baik-baik saja dan tidak ada masalah. Saya merasa bahagia di tempat kerja dan di tempat kost, cuma sering rindu dengan orang tua dan saudara kandung. Ternyata masalah perasaan itu tidak berjalan beriringan dengan urusan perut.Â
Katanya, orang Sumatra terbiasa dengan masakan yang mengandung banyak rempah. Sebenarnya bukan di Sumatra saja, ada beberapa wilayah Indonesia lainnya yang begitu juga. Namun, saya hanya menuliskan pengalaman pribadi, sebagai orang Medan yang merantau ke Jakarta.
Makan seperti kucing
Seorang rekan kerja sering mengatakan kalau saya makan seperti kucing. Katanya, karena saya makan sedikit, satu porsi makanan sering nggak habis.
"Nggak enak," begitu selalu saya ucapkan.
Ini bukan bermaksud mengatakan kuliner lain tidak enak, tetapi memang tidak pas dengan selera saya waktu itu.
Enak atau tidak, semua tergantung pada selera setiap orang. Ada seorang kolega saya yang tidak suka masakan dengan rempah yang banyak. Saya pikir, ini hanya kebiasaan menyantap masakan dari rumah. Kita terbiasa dengan "masakan ibu," masakan rumahan yang kita kenal sejak kecil.
Waktu itu belum ada aplikasi layanan pesan antar yang praktis seperti sekarang. Pilihan hanya terbatas sajian di restoran, warung, dan lapak makanan yang ada di sekitar kantor.Â
Di tengah kegalauan soal makan siang, saya memilih untuk membeli makanan di warung nasi Padang.Â
Karena warung nasi Padang tidak ada di sekitar kantor. Kami biasanya pramukantor (office boy) yang diminta untuk membeli. Kami, maksudnya dua pimpinan dan saya. Ada dua orang pimpinan di kantor yang berasal dari negara di Asia Selatan. Mereka sepertinya punya masalah seperti saya.Â
Kuliner Padang adalah penyelamat, begitu kedua boss ini berujar. Tidak ada istilah bosan bagi mereka untuk menyantap nasi Padang. Rendang adalah pilihan favorit mereka. Tidak ada yang tidak kenal Rendang, salah satu kuliner terenak di dunia.
Masakan Padang atau Minang?
Ada rumah makan yang menggunakan papan nama "Rumah Makan Padang," ada juga "Rumah Makan Minang."
Dalam tulisan ini saya menggunakan istilah nasi Padang. Hal ini untuk memudahkan saja. Selain itu, saya akui keterbatasan pengetahuan akan kuliner dan budaya Minang. (Takut salah memberi informasi)
Minang atau Minangkabau adalah suku dan budaya yang berasal dari Sumatra Barat.
Padang adalah ibukota Sumatra Barat. Sebutan "Orang Padang" ditujukan untuk penduduk kota Padang.
Arti menurut KBBI,
Minangkabau:
1. Suku bangsa yang berasal atau mendiami daerah Sumatra Barat
2. Bahasa yang dituturkan oleh suku bangsa Minangkabau
minang kabau (ditulis terpisah): senjata tajam yang dipasang pada kepala kerbau
Bagaimana perbedaan kuliner antara rumah makan Padang dan Minang? Saya tidak tahu. Penduduk Padang dan Sumatra Barat adalah orang yang lebih tepat untuk menjawabnya.
Seperti kita ketahui, kuliner dari Sumatra Barat terkenal akan rasanya yang cukup pedas. Saya suka masakan Padang, padahal saya tidak terbiasa dan tidak sanggup menyantap makanan yang terlalu pedas. Percayalah, tidak semua masakan yang ada di rumah makan Padang memiliki cita rasa pedas. Ada banyak pilihan bagi penyuka makanan tidak pedas.
Dengan berjalannya waktu, saya mulai membiasakan diri untuk menikmati masakan daerah setempat. Sekarang, saya sangat terbuka untuk mencoba berbagai kuliner. Bahkan kuliner yang "kurang bumbu" seperti makanan tradisional Jerman.
Meskipun tidak ada warung nasi Padang di sekitar tempat tinggal saya, tidak menjadi masalah. Saya bisa memasak sendiri, walaupun mungkin rasanya tidak autentik seperti aslinya.
Begitulah bagi perantau seperti saya yang tinggal jauh dari tanah kelahiran. Meracik makanan sendiri sudah cukup mengobati kerinduan akan kuliner Nusantara.
Salam hangat dari benua biru
Hennie Triana Oberst
Germany, 28.09.2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H