Di Museum Sekolah Friedrichshafen dapat dilihat bagaimana gambaran ruang kelas tahun 1850. Meja dan bangku kayu panjang sebagai tempat belajar bisa diduduki beberapa orang. Jumlah murid per kelas saat itu mencapai 80 hingga 100 orang.
Pada waktu itu masyarakat hidup dalam kemiskinan, listrik juga belum ada. Sebagian anak-anak bahkan pergi ke sekolah tanpa alas kaki karena tidak mampu membelinya. Â
Kondisi masyarakat seperti ini memaksa anak-anak harus ikut membantu keluarga, sehingga tidak semua anak bisa ikut mengenyam pendidikan di sekolah. Sebagian terpaksa harus bekerja di luar rumah, menjaga adik di rumah, atau merawat anggota keluarga yang sakit.Â
Orangtua yang memutuskan apakah anak boleh atau tidak pergi ke sekolah. Sebagian mengizinkan anaknya hanya sebentar belajar, 2 sampai 3 tahun. Umumnya anak perempuan dianggap tidak perlu sekolah tinggi karena nantinya akan menikah, punya anak, dan mengurus keluarga di rumah.
Waktu senggang yang dimiliki anak-anak tidak banyak. Sepulang sekolah mereka harus menggembalakan hewan ternak sambil belajar dan mengerjakan tugas sekolah.
Liburan sekolah disesuaikan dengan masa panen tanaman. Kegiatan belajar ditiadakan, tetapi anak-anak harus turut serta bekerja memanen hasil tanaman di ladang. Tambahan satu hari libur sekolah pada hari ulang tahun raja.
Alat tulis dan kegiatan belajar
Setiap murid membawa ransel sekolah yang berisi alat tulis dan buku. Alat tulis mereka berbeda dengan alat tulis murid saat ini. Dulu tiap anak membawa buku pelajaran, buku tulis dan bulu angsa sebagai pena, serta sabak dan grip sebagai alat tulis.
Sabak berbahan batu ini bentuknya menyerupai papan tulis mini. Saat ini anak sekolah kembali menggunakan sabak, tetapi sabak elektronik atau tablet.
Ketika mengajar guru harus mengenakan jubah dan topi bulat (peci). Jubah ini adalah milik sekolah, disimpan di sekolah dan digunakan oleh guru berikutnya ketika yang lama pensiun.Â