Mohon tunggu...
Hennie Triana Oberst
Hennie Triana Oberst Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penyuka traveling dan budaya

Kompasianer Jerman || Best in Citizen Journalism Kompasiana Awards 2023

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pertemuan di Musim Gugur

25 Oktober 2021   05:32 Diperbarui: 25 Oktober 2021   05:40 452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Strasbourg 2020

Seperti mimpi rasanya aku bisa melihat sosokmu lagi. Serasa berabad-abad kita tidak bersua. Kau masih sama seperti dulu, tetap cantik. Tadinya aku kurang yakin dengan penglihatanku, karena kacamata hitam yang kau gunakan menutupi mata beningmu.

Aku harus mengumpulkan seluruh keberanianku untuk menghampiri mejamu. Laki-laki macam apa aku ini. Melihat dirimu membuatku seperti pria tak berguna, pengecut.

Angin musim gugur menerbangkan daun-daun di taman kecil tepat di depan cafe. Sehelai daun maple Jepang berwarna merah mampir di rambutmu, lalu jatuh saat kau menunduk.

Kau berdiri dan menyambut seorang anak laki-laki berambut pirang gelap yang berlari kecil menghampirimu.

Ah! Itu pasti putramu. Kalian berdua terlihat menikmati makanan yang disajikan tidak lama setelah itu. 

"Selamat makan. Apa kabar, Amira?" Aku akhirnya sudah berdiri di samping mejamu. 

"Hai, Dewa! Kejutan yang menyenangkan."

Matamu berbinar saat menengadah dan membalas sapaanku

"Sejak kapan kau ada di negeri ini, Wa?"

Kau mempersilakanku untuk duduk bersama kalian.

"Ini Kea, anakku."

Kau memperkenalkan putramu yang berusia 3 tahun. Senyumnya sangat manis, persis seperti senyummu.

"Baru sebulan aku pindah ke Strasbourg ini. Tapi sudah lebih dari setahun aku Swiss. Aku nggak tau kalau kamu tinggal di Eropa. Lama sekali ya kita nggak ketemu." 

Amira mengangguk-angguk sambil tertawa kecil. Kita terakhir bertemu di tahun pertama awal kuliah. Kampus kita yang berbeda memungkinkan aku untuk tidak terlalu hancur saat kau menolak untuk menjadi kekasihku.

"Ini prinsipku, Wa. Aku tidak akan mengubah seseorang yang sudah dewasa."

Itulah kalimat yang kau ucapkan. Kau bilang tidak akan pernah membina hubungan dengan pria perokok. 

Aku mengerti alasanmu. Sungguh menyakitkan bagimu kehilangan sosok ayah saat kau masih di sekolah menengah pertama. Rokok telah merusak paru-paru ayahmu hingga nyawanya tidak tertolong lagi.

Kau juga pernah cerita bahwa ibumu harus bekerja keras demi menghidupi keluarga. Seorang ibu rumah tangga yang harus menyambi bekerja dengan membuat keripik singkong pedas. Menjajajakan dengan berkeliling, hingga akhirnya bisa dititipkan di warung-warung. 

Menurutku, itu adalah keripik singkong pedas terenak di dunia. Aku dulu mengenalmu ketika ingin membeli keripik yang selalu kau bawa ke sekolah. Kau tidak pernah merasa malu melakukannya.

Sejak itu kita berteman dan menjadi sangat dekat. Aku begitu mengagumimu. Seorang remaja perempuan cerdas yang begitu percaya diri.

Kerja keras kalian berbuah manis. Kamu dan kakak laki-lakimu bisa meraih cita-cita dan membanggakan ibu kalian. Aku pun turut bangga, pernah menjadi bagian dari hidupmu.

"Setelah selesai kuliah dulu aku dapat beasiswa melanjutkan studi ke Rennes. Terus kecantol pria negeri ini."

Kau bercerita dengan nada riang, seperti biasanya. Entah kenapa ada rasa cemburu yang mengusik hatiku mendengar kata-katamu.

"Kalian sekarang tinggal di Strasbourg?"

 Antara senang dan khawatir aku bertanya. Seandainya kami sama-sama tinggal di kota ini, apakah hatiku yang sempat porak-poranda dulu takkan terusik lagi.

"Iya, tapi cuma sampai tiga bulan ke depan. Aku dan keluarga menetap di pinggiran kota Rennes. Kamu gimana, Dewa?

Girang rasanya aku mendengar kalimat terakhirmu. Ternyata kamu ingin tahu keadaanku juga.

"Masih single, tapi aku sudah lama meninggalkan rokok." 

Kau tertawa lepas mendengar jawabanku. Putramu memperhatikan wajahmu, kemudian ikut-ikutan tertawa, menunjukkan gigi putihnya yang rapi.

"Serius nih, orang seganteng kamu masih betah sendiri?" Kamu bertanya penuh selidik. 

"Resminya gitu. Mudah-mudahan tidak lama lagi akan menyusulmu." 

"Jangan lupa ya kabari aku." Meski sambil tertawa, aku tahu kamu mengatakan dengan sungguh-sungguh.

"Oh iya, minta nomor teleponmu ya. Aku mau mengundangmu. Minggu depan di rumahku ada kumpul bareng teman-teman dari tanah air. Ibuku juga sedang di sini."

Kamu berkata sambil mengangsurkan ponselmu padaku.

"Kamu bisa datang kan?" Pertanyaanmu kujawab dengan anggukan.

"Kita nanti ngobrol banyak lagi. Sekalian kamu kenalan dengan teman-temanku, juga suamiku." 

Pasti. Dengan senang hati aku akan melakukannya. Aku ingin mengenal pria beruntung yang bisa membahagiakanmu.

(Hennie Triana Oberst - De, 24.10.2021)  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun