Masjid ini awalnya dibangun pada Dinasti Umayyah (661-750). Konon, sebelum menjadi masjid merupakan rumah ibadah penganut Zarathustra (Zoroaster), agama kuno di Persia.
Perubahan besar dalam arsitektur masjid, menurut Dr. Lorenz Korn, Profesor Sejarah dan Arkeologi Seni Islam dari Universitt Bamberg, terjadi sekitar seribu tahun lalu.Â
Pada abad ke-11, di Iran mulai dibangun masjid dengan atap berbentuk kubah, tidak datar seperti masjid-masjid sebelumnya. Konstruksi ini kemudian menjadi mode.
"Pada saat itu, perpecahan antara Sunni dan Syiah mencapai puncaknya. Perhatian para pembangun beralih ke masjid-masjid besar di kota. Kubah dianggap sebagai ekspresi yang tepat.", begitu menurut Korn.
Kebangkitan Kekaisaran Utsmaniyah (Kekaisaran Ottoman, 1299-1922) bertepatan dengan jatuhnya Seljuk dan Bizantium. Ciri khas arsitektur bangunan dari campuran budaya Ottoman dan arsitektur setempat, dengan atap kubah di seluruh kekaisaran.Â
Bentuk kubah Bizantium (contohnya, Hagia Sophia) diadopsi dan dikembangkan lebih lanjut. Masjid Ottoman paling awal adalah ruangan memanjang dengan atap kayu sederhana, atau kubah dengan interior kayu. Namun, sebagian besar sudah hangus dilalap api.Â
Kubah dari bata kemudian digunakan untuk masjid, yang kemudian menjadi pola dasar arsitektur Ottoman. Contohnya adalah masjid Orhan Gazi di Gebze - Turki, dan masjid Karagöz Bey di Mostar, Bosnia-Herzegovina.Â
Baca juga:Â Menumpang Salat di Zentralmoschee, Masjid Sentral Cologne JermanÂ
Studi tentang struktur kubah pada abad ke-18 dilakukan secara drastis. Meskipun tidak terlalu populer, atap kubah digunakan untuk bangunan rumah bergaya neoklasik.Â