Mohon tunggu...
Hennie Triana Oberst
Hennie Triana Oberst Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penyuka traveling dan budaya

Kompasianer Jerman || Best in Citizen Journalism Kompasiana Awards 2023

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menghadapi Kolega Suami yang Dilanda Puber Kedua

20 Desember 2020   23:41 Diperbarui: 20 Desember 2020   23:53 755
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi flirt - foto: pixabay.com/Alexander-777

Percayalah, perasaan segar dan berbeda layaknya puber kedua ini tidak hanya dialami oleh pria saja, tetapi juga wanita. Tetapi sebetulnya, rasa berbunga-bunga ini bisa kita sesuaikan dan atur agar tidak kebablasan.

Pada usia sekitar 35 sampai 40-an tahun biasanya kematangan pribadi, karir dan keluarga mulai terlihat nyata. Di usia sekitar inilah hadir yang sering dianggap puber kedua.

Umumnya, pasangan yang memiliki anak, terutama perempuan, sudah mulai terlepas dari kerepotan mengurusi anak kecil. Waktu untuk diri sendiri semakin banyak, menghadiri reuni teman sekolah misalnya, atau hanya sekadar kumpul dengan kawan-kawan dekat.

Kesempatan mempercantik diri, yang selama ini agak terbatas karena harus membagi waktu dengan keperluan si kecil, bertambah. Bagi pria, memperbaiki penampilan juga tidak kalah pentingnya. Berdasarkan curhat seorang sahabat saya, dia mulai rajin menjaga pola makan dan berolahraga, demi mengembalikan bentuk tubuhnya seperti sebelumnya.

Ini ada satu pengalaman saya menghadapi kolega suami yang sedang berbunga-bunga di masa puber keduanya. 

Tahun-tahun awal di Jerman, saya memutuskan untuk tidak meneruskan pendidikan master yang baru dimulai, karena memilih mengikuti suami yang tugasnya memang mengharuskannya berpindah tempat tinggal.

Di negara lain ini, biasanya hubungan sosial antarpekerja lebih erat. Orang Jerman biasanya membatasi urusan pribadi dengan rekan kerja. Tetapi berbeda jika berada di luar Jerman, pergaulan terlihat lebih lentur. Iya, orang Jerman itu memang terkenal kaku.

Hampir setiap akhir minggu, kami menghabiskan waktu bersama. Makan malam dan mencoba kuliner di tempat yang berbeda-beda. Kadang acara belanja bersama juga kami lakukan, terutama menjelang waktu libur panjang.

Beberapa kolega suami saya tidak membawa keluarganya ikut pindah ke negara lain. Alasannya, pasangan mereka tidak mungkin meninggalkan perkerjaannya, dan urusan sekolah anak.

Contohnya, Harry, usia awal 40, tinggi dan ganteng. Istri dan anak laki-lakinya yang berusia 11 tahun tidak mengikutinya.

Harry sering sekali mengajak saya mengobrol. Memuji orang lain juga bagian dari kebiasaan orang Jerman, baik pria maupun wanita. Begitu juga dengan Harry, dia sering sekali memuji penampilan saya.

Senang pastinya dapat pujian. Tetapi saya menanggapi seperti biasa, sekadar mengucapkan terima kasih. Sebetulnya saya menyadari sikap dan perhatian Harry yang agak berlebihan. 

Suatu hari, Harry membawa serta keluarganya yang sedang berkunjung, anak dan istrinya. Seorang wanita keturunan negara Eropa timur yang sangat cantik, wajah dan postur tubuhnya bak seorang model.

Seminggu sebelumnya, Harry memuji baju yang saya pakai. Dia bertanya di mana saya membelinya, karena dia ingin membelikan istrinya baju yang sama. Katanya, ukuran baju saya pasti sama dengan nomor baju istrinya. Hmmm, ada-ada saja ya. Untuk memuaskannya, saya sebutkan nama toko baju itu. Letaknya tidak jauh dari kompleks tempat tinggal kami. 

Pada acara berkumpul itu, tingkah Harry pasti menjadi perhatian istrinya. Harry selalu berusaha mencari kesempatan mengobrol dengan saya, bahkan beberapa kali memotret wajah saya (ini kalau kebetulan suami saya sedang sibuk dan tidak ada di sebelah saya). 

Jadi setiap Harry berada di samping saya, anaknya datang menjemput. "Pa, dipanggil mama," begitu yang saya dengar berkali-kali. Harry tersenyum ke arah saya dan pergi kembali ke meja makan, di mana istrinya menunggu.

Sikap suami saya, biasa saja. Dia memang bukan tipe yang suka menampakkan rasa cemburunya. Bisa jadi, karena selama kami bersama sejak pacaran dulu, dia tidak pernah melihat tingkah saya yang keterlaluan menanggapi perhatian orang lain. Dia sepertinya lebih memilih diam, tetapi membuat orang lain tidak bisa berbuat apa-apa.

Misalnya, saat berada kembali di Jerman, rencana untuk barbeku bersama di rumah kami tiba-tiba batal. Suami saya mengatakan banyak yang tidak bisa hadir. Tetapi firasat saya, mungkin suami saya hanya tidak ingin melihat rekan kerjanya terlalu kegenitan mendekati saya.

Memang tidak pernah terucap dari suami saya mengenai hal ini. Dia pasti tahu betul bagaimana istrinya sendiri, karena sikap saya sama ke semua koleganya.

Agaknya, ada keuntungan orang seperti saya. Menurut sahabat dan kawan-kawan dekat saya, sikap saya terlalu wajar. Entah maksudnya apa saya kurang ramah. Segala sesuatu ditanggapi biasa, bahkan kesedihan bisa saya tutupi tanpa ada orang lain tahu.

Sisi positifnya, saya bisa menetralkan situasi, tanpa ada orang yang merasa cemburu, baik istri Harry maupun suami saya.

-------

Hennie Triana Oberst

Deutschland, 20.12.2020

"Puber Kedua"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun