Mohon tunggu...
Hennie Triana Oberst
Hennie Triana Oberst Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penyuka traveling dan budaya

Kompasianer Jerman || Best in Citizen Journalism Kompasiana Awards 2023

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengapa Orang Bule Suka Kulit Berwarna Eksotis?

8 Desember 2020   08:21 Diperbarui: 27 April 2021   07:09 5527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi warna kulit - foto: pixabay.com/falco

"Besok ya datang lagi Mbak Hen, biar suaminya lebih sayang."

Seorang wanita cantik yang bekerja di salah satu salon kecantikan berkata saat saya pamitan.

"Bukan lebih sayang, mungkin suami saya bisa marah," begitu tadi saya berkata sambil tertawa.

Siang itu saya hanya mampir sebentar menemani Raisa, teman yang saya kenal di dunia penerbangan dulu, tetapi kami tidak pernah bekerja di tempat yang sama. Setiap saya liburan ke Jakarta kami selalu bertemu. Raisa memilih untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya setelah menikah, kemudian merintis usaha bidang kecantikan ini.

Wanita tadi menawarkan saya untuk memutihkan kulit sambil mempromosikan krim produk pemutihnya. Saya menyambutnya dengan tawa dan mengatakan saya cukup bahagia dengan kulit coklat saya.

Baca Juga: Bule Itu Manusia Biasa, Cuma Beda Penampakan

Dengan kondisi kulit coklat seperti ini saya tidak pernah merasa minder sama sekali. Pernah juga saat remaja dulu saya memakai body lotion yang bisa mencerahkan kulit dan menjadikan kulit berwarna kuning langsat. Iya, nggak mungkin kulit coklat saya jadi putih. Kulit terlihat cerah dan tidak kusam tentu dambaan (hampir) semua orang.

Dulu dan sepertinya sampai sekarang, warna kulit putih itulah lambang kecantikan bagi perempuan di Indonesia dan negara Asia umumnya.

Cantik itu putih. Sementara kulit gelap, yang disebut hitam sering disandingkan dengan kata manis. Tidak dikenal di Indonesia hitam cantik, yang ada hitam manis. Entah sebagai pujian untuk menghibur atau bagaimana.

Tren kulit berwarna

Sebenarnya sejak zaman dahulu masyarakat menganggap warna kulit putih adalah orang yang memiliki status sosial yang lebih tinggi dari masyarakat pada umumnya. Kulit gelap dan kecoklatan tidak disukai, karena sama dengan masyarakat biasa di pedesaan, nelayan, petani dan budak.

Kaum bangsawan dan golongan masyarakat  dengan status sosial yang lebih tinggi jika keluar rumah selalu melindungi dirinya dengan menggunakan payung, topi, sarung tangan, rok dan celana panjang. 

Penilaian di masyarakat mengenai kulit putih mulai bergeser sejak abad ke-18, ketika di Jerman dan Inggris mulai dikenal thalassotherapy, yaitu pengobatan dengan mandi air laut. Ternyata, bukan hanya mandi air saja, melainkan mandi udara dan cahaya matahari juga. Menurut dokter, berjemur di bawah matahari memiliki efek yang baik dan menyehatkan tubuh.

Lama kelamaan semakin banyak orang yang menyukai perubahan warna kulit dari kegiatan berjemur ini. Pandangan masyarakat berubah. Kulit putih dianggap tidak lagi menarik, karena terlihat pucat dan tidak sehat, seperti kulit pekerja tambang yang tidak mendapatkan sinar matahari dalam waktu yang lama.

Warna kulit kecoklatan menjadi ekspresi kemandirian dan gaya hidup.

Tidak ketinggalan, tren ini juga memasuki dunia catwalk, walaupun secara tidak sengaja.  Perancang busana terkenal Coco Chanel pada musim panas tahun 1923, bersama pasangannya berlayar di sepanjang Cte d'Azur, bagian pantai Mediterania Perancis. Namun ia lupa membawa payung sebagai pelindung diri dari matahari. 

Sepulang berlayar kulitnya menjadi berwarna gelap, "coklat seperti orang gipsi," begitu ucapannya. Ia berpose untuk seorang fotografer dengan gaun warna putih, sehingga menonjolkan warna kulitnya. 

Pada mulanya, dunia mode tidak menyukai hal ini, karena warna kulit pucat adalah lambang kecantikan. Kemudian Coco Chanel memajang maneken berwarna kecoklatan. Kulit berwarna kecoklatan yang terbakar matahari menjadi mode baru, dan merupakan simbol status sosial.

Masyarakat di sekitar Mediterania menggunakan minyak zaitun, almond, wijen dan lemon untuk merawat kulit mereka. Meskipun bahan-bahan ini tidak banyak membantu melindungi kulit dari terpaan sinar surya, tetapi setidaknya menghindari kulit menjadi kering.

Baca: Stop Pertarungan Politik Warna Kulit Perempuan dalam Dunia Periklanan!

Berjemur di bawah sinar matahari secara medis juga penting untuk pembentukan vitamin D. Orang yang berasal dari negara beriklim tropis dan tinggal di negara empat musim sering kekurangan vitamin D, seperti saya. Solusinya didapat dari dokter, dengan menebus resep vitamin D dari apotek. 

Gaya hidup baru berjemur di bawah matahari  di sisi lainnya bisa membahayakan kesehatan, akibat radiasi ultraviolet.

Tabir surya berbentuk krim yang merupakan pelindung sinar matahari modern diproduksi pertama kalinya pada awal tahun 1930 oleh perusahaan Bayer dari Jerman.

Saat ini berbagai jenis tabir surya tersedia di pasaran. Setiap pertengahan musim semi di Jerman, terlihat beragam produk ditawarkan di toko dan supermarket. Musim panas adalah waktu yang ditunggu-tunggu untuk mandi matahari.

Mendapatkan kulit coklat dambaan orang bule dengan cara berjemur di bawah sinar matahari, ataupun kulit putih idaman orang Asia dengan menggunakan krim pemutih, itu adalah pilihan. Keduanya memiliki efek samping yang bisa menyebabkan gangguan kulit dan risiko kemungkinan kanker kulit.

Salam sehat dan bahagia

-------

Hennie Triana Oberst - DE.07122020

Bacaan: spiegel.de

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun