Masa itu banyak sekali orang miskin di Paris yang tidak mampu membeli pakaian dan barang-barang baru. Untuk mengatasi masalah tersebut, dan membantu orang-orang miskin, masyarakat menggelar pasar yang hanya menjual barang bekas saja.
Saat itu penduduk tidak memiliki mesin cuci, pakaian hanya dicuci secara manual. Meskipun bersih, tetapi terkadang hasilnya tidak sempurna. Begitu juga dengan pakaian dan barang bekas yang dijual di pasar, tentu tidak ada yang bisa menjamin kebersihannya. Bisa saja pakaian tersebut sudah lama disimpan di dalam lemari dan menyimpan kutu kecil di balik lipatannya.
Pakaian bekas dan barang-barang dagangan yang menyimpan kutu ini kemudian akan berpindah kepada pemilik lainnya.Â
Namun, bukan hanya pakaian dan barang-barang bekas saja pembawa kutu, melainkan juga orang-orang yang berada dan mengunjungi pasar tersebut. Banyak yang miskin dan terlihat kotor, dari mereka juga kutu akan menyebar dan berpindah tempat.
Dari sinilah asal mula nama pasar barang bekas atau pasar loak ini disebut "pasar kutu".
Sebutan March aux puces atau Flohmarkt masih digunakan hingga sekarang. Namun, situasi saat ini tentu sangat jauh berbeda dengan keadaan pada abad ke-18 dulu.
Pakaian dan barang-barang yang dijual di pasar loak yang banyak terdapat di negara Eropa pasti memenuhi aturan kebersihan yang diberlakukan tiap negara.
Kutu yang dulunya meramaikan pasar kutu sudah tidak ada lagi. Pedagang yang ingin menggelar lapak di flohmarkt harus memenuhi aturan yang ditetapkan penyelenggara sesuai standarnya.
Di negara-negara Eropa banyak terdapat toko-toko yang menjual barang bekas. Salah satu tindakan nyata untuk mengurangi sampah dan mencegah rusaknya lingkungan akibat limbah industri. Â Swedia adalah yang terdepan dengan mendirikan mal barang bekas pertama di dunia, seperti mall daur ulang di bawah ini.
"Mall Daur Ulang Pertama di Dunia Ada di Sweida, Cara Cerdas Mengurangi Sampah"Â
-------