Mohon tunggu...
Hennie Triana Oberst
Hennie Triana Oberst Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penyuka traveling dan budaya

Kompasianer Jerman || Best in Citizen Journalism Kompasiana Awards 2023

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Vila di Pinggir Pantai (2)

23 Oktober 2020   20:02 Diperbarui: 24 Oktober 2020   05:29 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pantai - foto:ObeyGravity/pixabay.com

(Bagian 1)

Bagian 2

"Schatz, kamu tau kamu lagi di mana?"

"Aku rasa ini di Asia, tapi di mana ya, aku nggak tau. Terus, kenapa aku ada di sini?"

"Kamu tau, aku ini siapa?"

"Ya, istriku."

"Ini siapa?" tanyaku sambil menunjuk putri kami yang ada di pangkuanku.

"Anak kita."

Suamiku menjawab dengan suara datar dan pandangan tanpa emosi menatapku.

Takbisa kugambarkan bagaimana perasaanku. Pertanyaan yang sama kuulang-ulang, sesekali diselingi tema lainnya. Aku lakukan ini demi mencegah suamiku tertidur.

Tujuh jahitan menutup luka di kepala bagian belakangnya. Untungnya (masih tetap ada untungnya di balik musibah ini), setelah diperiksa dengan seksama tidak ada cedera lainnya.

Dalam perjalanan kembali ke vila, ingatan suamiku berangsur-angsur pulih. Dia sudah bisa tertawa-tawa dan membalas candaan yang dilontarkan adik iparku.

***

Aku cukup lega dengan pulihnya ingatan suamiku. Putri kami pun terlihat sudah ceria kembali. Tidak mengapa liburan kali ini harus terisi dengan kunjungan ke dokter beberapa kali. Kami harus kembali beberapa hari lagi ke rumah sakit, memeriksakan keadaan luka di kepala suamiku.

Stefan, lelaki berkebangsaan Jerman yang merupakan suami dari kakakku mulai menggoda suamiku. Abang iparku ini memang suka sekali berseloroh.

"Kau salah, mestinya waktu istrimu tanya kau tau dia itu siapa, jawab nggak kenal. Tschüss."

"Ya, ya, Gitu jawabanmu kalau kau yang ditanya."

"Ja, klar. Sudah pasti itu. Kesempatan untuk kabur."

Stefan tak pernah kekurangan ide untuk menimpali perkataan orang lain.

Kami terbahak-bahak dibuatnya. Stefan memang selalu membuat suasana menjadi ramai dan mencari kesempatan menggoda siapa saja. 

Menikmati liburan dan berkumpul dengan keceriaan seperti ini adalah keadaan yang langka. Sejenak melepaskan rutinitas. Tidak perlu repot memikirkan harus masak dan menyediakan makanan, sudah ada yang menangani urusan perut kami. Anak-anak pun bisa bermain bebas di halaman, camilan juga tersedia lebih dari cukup.

Di pojok taman dekat pagar ke arah pantai terdapat gazebo. Di sini kami bergantian menikmati pijatan yang ditawarkan dua orang wanita yang memang berprofesi sebagai tukang pijat. Mereka sering dipanggil untuk melayani tamu di vila ini dan beberapa vila di sekitarnya.

***

Satu adikku dan keluarganya menempati vila dengan atap ijuk, lumbung, mereka menamakan bangunan ini. Letaknya berseberangan dengan vila utama. Bangunannya tidak besar, sangat cocok untuk mereka yang memiliki anak 3 orang.

Dari kemarin, aku belum sempat melihat-lihat bagian lain dari vila ini. Mampirlah aku ke lumbung. Di ruang bawah terdapat sofa dan meja, layaknya ruang tamu, di sudutnya adalah ruang kerja.

Pada dinding menuju tangga ke lantai atas tergantung foto wanita muda, terlihat cantik dengan rambut agak bergelombang, panjangnya melewati bahu dan berwarna caramel.

Saat melintas, aku menoleh ke arah foto, terlihat ia tersenyum. Benar-benar tersenyum saat kutatap sekali lagi. "Ah, pasti cuma perasaanku saja," pikirku dalam hati.

Saking panik dan khawatir dengan kenahasan yang baru saja menimpa suamiku, aku pun tidak mengetahui kasak-kusuk yang terjadi kemarin.

Adikku mengatakan mereka pindah ke vila yang letaknya dekat ke arah pantai. Bangunan yang seperti dua rumah mungil berdepet itu bagian depannya mengarah ke pantai. Agak tersembunyi letaknya, karena dikelilingi taman dan harus melewati sisi kolam renang yang dipagari tanaman.

Menurut adikku, anak sulungnya tidak mau tidur di lumbung. Bahkan untuk naik ke lantai dua yang merupakan kamar tidur, dia menolaknya sambil menangis.

Akhirnya lumbung dibiarkan kosong, mereka menempati vila di dekat pantai.

Itulah pertama dan terakhir kalinya aku memasuki lumbung. Bangunan cantik, tapi seperti memiliki aura mistis yang takbisa aku gambarkan.

***

Tidak terlalu banyak nyamuk yang mengganggu di vila ini. Kami sudah memasang penangkal nyamuk di beberapa tempat.

Debur ombak yang terhepas di pantai memecah kelengangan malam. Betul-betul terasa nyaman sekali. Langit terlihat penuh bintang. Suasana seperti ini sangat cocok dinikmati sambil barbeku di pinggir kolam. Kami memang berencana melewati malam pergantian tahun di sini.

Menjelang tengah malam. Sepertinya semua sudah terlelap di kamar masing-masing. Aku ke dapur mengambil minuman. Kakakku masih terjaga di rumah tamu, menunggu suaminya yang sedang merokok di teras.

"Aku keluar bentar ya. Ngapain itu Stefan malam-malam keliling vila."

Kakakku berkata dengan nada heran.

Aku mengurungkan niat untuk segera kembali ke kamar. Lebih baik menunggu mereka kembali. Tak lama kakakku dan suaminya memasuki vila utama. 

"Kenapa belum tidur?" Stefan bertanya ketika memasuki ruangan sambil menatapku.

"Ini mau tidur. Gute Nacht!" 

*** bersambung

-------

Hennie Triana Oberst - DE.23102020

"Vila di Pinggir Pantai"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun