tidak bisa matang pada musim panas,
tidak akan dipanen pada musim gugur,
takbisa dinikmati pada musim dingin"
  (terjemahan bebas dari syair karya Johann Gottfried von Herder, 1744-1803)
Musim gugur yang indah dengan warna-warni dedaunannya adalah juga masa panen bagi petani. Saatnya menuai hasil bumi seperti labu, kentang, apel dan banyak jenis tanaman lainnya.
Selama manusia tergantung pada siklus alami pengadaan pangan untuk kelangsungan hidupnya, maka sepantasnya untuk menghaturkan rasa terima kasih kepada pemberi kehidupan.Â
Sebagai bentuk rasa syukur atas hasil yang telah diperoleh, maka pesta panen digelar. Perayaan panen ini merupakan tradisi yang dikenal di berbagai budaya di dunia, termasuk juga di Indonesia.
Festival panen sudah dikenal sejak masa Yunani Kuno. Dulu, ritual ini biasanya dilakukan selama tiga hari, untuk menghormati Dewi Demeter*.Â
Pada masa sebelum lahirnya Kekristenan, perayaan besar ini dilakukan dengan menyediakan sesajen, berupa penyembelihan hewan babi, angsa atau domba.
Ritual pesta panen ini di tiap wilayah dilakukan pada waktu yang berbeda, tergantung pada zona iklimnya. Di Eropa tengah, pada zaman Romawi ada empat jenis perayaan panen yang berbeda, perayaan pada musim gugur biasanya dilanjutkan dalam ritual Kristen. Sejak abad ke-3, perayaan syukuran setelah panen sudah dikenal umat Kristiani.
Erntedankfest** atau festival panen di Jerman biasanya dilakukan di Gereja. Sejak tahun 1972 dari hasil Konferensi Waligereja Jerman, Erntedankfest dirayakan pada hari Minggu pertama bulan Oktober setiap tahunnya.
Hasil panen dan hiasan dari bunga, biji-bijian dan buah yang telah dikeringkan menghiasi altar gereja. Dekorasi berupa karangan bunga, mahkota dan lainnya dari jerami kering dipajang sebagai hiasan.