Mohon tunggu...
Hennie Triana Oberst
Hennie Triana Oberst Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penyuka traveling dan budaya

Kompasianer Jerman || Best in Citizen Journalism Kompasiana Awards 2023

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Punya Suami Bule, Apakah Harus Jadi Tulang Punggung Keluarga Besar?

5 Agustus 2020   09:45 Diperbarui: 5 Agustus 2020   09:49 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: congerdesign/pixabay.com

Tidak bisa disalahkan jika sebagian orang masih menganggap bangsa yang berkulit putih atau biasa di Indonesia disebut bule adalah orang yang punya atau kaya. Anggapan ini tidak hanya dijumpai di sebagian masyarakat Indonesia saja, tetapi juga masyarakat di negara Asia lainnya.

"Jika kita menikahi seseorang, berarti kita juga menikahi keluarganya."

Memang betul, kita harus siap membaur, menjadi bagian dari dua keluarga besar yang disatukan oleh ikatan perkawinan.

Tapi bukan berarti kita memiliki kewajiban untuk menanggung kehidupan keluarga besar tadi.

Saya memiliki seorang kenalan, wanita dari salah satu negara Asia. Sebut saja namanya Hazel, dia sudah lebih lama tinggal di Jerman dibandingkan saya. Hazel menikah dan memiliki seorang anak perempuan yang sudah menyelesaikan sekolahnya.

Sekali waktu ketika kami sedang berbincang-bincang, Hazel bercerita, sejak awal tinggal di Jerman dia bekerja menjadi tenaga pembersih rumah tangga di sekitar lingkungannya. Menurut dia, itulah pekerjaan yang bisa dia lakukan demi membantu keluarganya di negara asalnya.

"Sebetulnya aku capek, tapi suamiku nggak mau nanggung keluarga besarku."

Hazel berkata dengan nada pasrah.

"Maksudmu orang tua kamu?" tanya saya penasaran.

"Orang tuaku, saudara-saudaraku dan keluarga mereka," jawabnya.

"Memang kamu nggak kirim uang ke keluargamu di Indonesia?" Hazel bertanya dengan keheranan.

"Oh nggak. Keluargaku mandiri semuanya." Jawaban saya membuat wajahnya mendung.

Menurut Hazel, keluarganya berasal dari desa yang miskin. Jadi dia yang diharapkan untuk menanggung biaya hidup mereka, karena dia menikah dengan orang bule.

Sebetulnya sebagai tenaga pembersih rumah tangga, penghasilan Hazel cukup lumayan jika hanya digunakan untuk membantu keluarganya. Tetapi jika digunakan juga untuk tambahan biaya hidup Hazel sendiri, tentu tidak akan mencukupi.

Di wilayah tempat tinggal saya, pekerjaan bersih-bersih rumah upahnya 15 Euro per jam. Selama kami tinggal di Tiongkok, rumah di Jerman dibiarkan kosong, jadi kami membutuhkan bantuan tenaga pembersih yang datang seminggu sekali.

Ada sebagian orang yang memiliki harapan yang berlebihan dan menganggap jika menikah dengan orang bule berarti punya duit yang melimpah dan bisa membiayai keluarga besar. Seandainya orang tersebut kaya raya sekali pun, bukan tanggung jawabnya untuk membiayai keluarga besar istrinya.

Akan berbeda, misalnya, jika harus membantu membiayai mertua, seandainya memang mereka perlu dibantu. Dalam situasi seperti ini, saya rasa banyak yang tidak akan keberatan untuk melakukannya.

Ada lagi kisah dari seorang wanita yang kebetulan saya kenal dalam satu penerbangan dari Jakarta ke Jerman, saat itu saya terbang sendirian.

Linda, sebut saja begitu, dia sudah lumayan lama tinggal di salah satu negara tetangga Jerman. Dia mengaku harus bekerja di sekitar wilayah rumahnya, menyetrika pakaian dan bersih-bersih rumah juga. Upahnya semua untuk keluarga besarnya di Indonesia. 

Kisahnya sedikit mirip juga dengan Hazel, tetapi keluarga besarnya bukan berasal dari desa yang miskin. Linda dianggap keluarga besarnya sebagai orang yang punya karena menikah dengan orang bule dan tinggal di Eropa.

Yang saya heran, kenapa dia tidak mengatakan yang sebenarnya kepada keluarga besarnya bahwa dia sebetulnya kerja keras hanya demi memenuhi kebutuhan mereka. Padahal dia bercerita kepada saya, lebih tepatnya mengeluh, bahwa dia capek dan tertekan dengan kebutuhan yang tak henti-henti dari keluarga besarnya.

Tapi begitulah, hidup adalah pilihan. Kita masing-masing yang bisa merencanakan dan menjalani arah mana yang akan kita tempuh.

Catatan;

Saya menggunakan kata "bule" di sini karena kata ini tertulis di KBBI, yang artinya; orang kulit putih (terutama orang Eropa dan Amerika); orang Barat

-------

Hennie Triana Oberst - DE.05082020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun