Beberapa minggu lalu putri saya bertanya,
"Ma, kapan lagi kita terbang ke Shanghai?"
"Rindu ya?" saya bertanya bukannya menjawab.
Putri saya mengiyakan sambil tertawa.
Tak heran, setengah dari usianya dihabiskan di negara Panda tersebut. Itu seperti tanah airnya yang kedua.
Saya katakan, sepertinya kami tidak akan kembali ke sana, karena untuk sementara ini sangat berisiko untuk jalan-jalan ke China. Di samping itu, pekerjaan Papanya harus dilakukan secara daring karena pandemi yang masih belum tahu kapan pupusnya.
Sejak pertama bermukim di negara Tirai Bambu awal tahun 2011 silam, kota Qingdao ini salah satu yang menarik hati saya. Tetapi hingga 6 tahun kami (putri saya dan saya) tinggal di China dan kembali ke Jerman, kesempatan untuk mengunjungi kota Qingdao tidak terlaksana.
Saya memang kurang percaya diri traveling sendirian atau berdua dengan anak saya di sekitar Tiongkok. Kendala bahasa itulah yang menjadi beban.
Untuk liburan dengan mengikuti grup wisata saya kurang suka. Lain lagi jika ada teman jalan orang dewasa, walaupun tidak menguasai bahasanya tetapi jika terjadi apa-apa ada saksi dewasa. (Ini cara berpikir dengan kemungkinan terburuk.)
Kalau sudah rezeki tak akan ke mana. Ketika saya berdua dengan anak saya kembali ke Jerman, suami saya masih melanjutkan menetap dua tahun lagi di Shanghai, karena pekerjaan yang tidak mungkin ditinggalkannya.Â