Seorang teman, sebut saja namanya Alexa, memasang "pengumuman" dan membagikannya di sosial media, bahwa ia akan memberikan sebagian buku-bukunya kepada yang berminat. Alasannya, dia sudah kewalahan karena terlalu banyak buku di rumahnya. Menghabiskan ruangan, katanya.
Terpaksa, dengan berat hati dilepaskan kepada yang akan merawat sebagian koleksinya.
Dalam waktu yang singkat sudah banyak yang masuk daftar penerima buku tersebut. Paling tidak, orang-orang yang akan menerima bukunya adalah juga penggemar buku.
Alexa adalah seorang penikmat bacaan dan pencinta buku-buku. Pengeluaran tetap untuk bacaan dan buku-buku adalah yang masuk daftar wajib. Bisa dilihat dari penuhnya koleksi buku yang memenuhi ruangan di rumahnya.
Orang seperti Alexa ini di Jerman sebutannya adalah "Bücherwurm", kalau kita di Indonesia mengenalnya dengan nama "kutu buku".
Bücherwurm berasal dari kata;Â
Bücher = buku-buku (bentuk jamak dari kata Buch=buku),
dan kata Wurm = cacing
Istilah Bücherwurm (terjemahan dari bahasa Inggris "bookworm") pertama kali digunakan sekitar pertengahan abad ke-18, dari satu karya Carl Spitzweg, seorang pelukis dari Munich. Karya Spitzweg ini berjudul "Der Bibliothekar" (Pustakawan).
Dalam lukisan tersebut terlihat seorang pustakawan sedang berdiri di atas tangga di dalam perpustakaan sambil mengamati atau membaca satu buku dari jarak yang sangat dekat.
Wurm atau cacing yang dimaksud adalah larva dari berbagai spesies kumbang. Larva yang memakan kayu, bahan baku untuk membuat kertas dan buku.
Label ini kemudian disematkan kepada seseorang yang sangat banyak membaca (berlebihan). Tak ubahnya "seseorang yang melahap buku-bukunya"