Membaca berita kemarin, bahwa di negara bagian Baden-Wuerttemberg (BW)-- di tempat kami tinggal -- semua murid tahun ini tidak ada yang tinggal kelas.
Efek pandemi corona memaksa semua murid untuk belajar dari rumah, untuk memberikan penilaian terhadap hasil belajar murid tentu sangat sulit. Oleh sebab itulah keputusan ini diambil.
Tidak ada murid yang akan dirugikan akibat pandemi ini, begitu menurut menteri pendidikan negara bagian BW.
Lulus tanpa ujian, pernah saya alami sewaktu kuliah di salah satu Universitas di kota Medan. Ada satu mata kuliah jurusan yang dosennya terkenal sulit memberi kelulusan. Di satu semester saya mengikuti mata kuliah tersebut karena masih memungkinkan mengambil mata kuliah yang semestinya saya ikuti semester depan.Â
Pak dosen ini memang kalau marah keterlaluan, sehingga dijuluki "dosen kebun binatang". Jika beliau marah atau mengoreksi pekerjaan kita, akan keluar berbagai nama hewan dari mulutnya.Â
Satu contoh; kita lupa menuliskan satuan dari angka, maka beliau akan berkata;
"Itu 2000 apa, 2000 monyet?"
Mengikuti mata kuliah tersebut, saya betul-betul stres, takut, tapi tak mungkin dielakkan. Tidak ada dosen lain.
Kakak kelas angkatan yang di atas saya menumpuk ikut mata kuliah tersebut. Beberapa kali tidak lulus. Entah salah di mana, semua jawaban sepertinya tidak ada yang benar. Sikap beliau ini bukan tidak pernah diadukan, tetapi dari tahun ke tahun tidak berubah.
Sekali waktu, pernah kami diminta menjawab ke depan untuk mengerjakan soal yang beliau berikan. Digilir satu persatu, tidak ada yang benar jawabannya. Kami semua, satu ruangan, berdiri di depan. Beliau sepertinya menikmati suasana ini.
Seperti anak SD dia memperlakukan kami. Menyebalkan.
Ujian mata kuliah tersebut saya mendapat nilai "D". Jelas tidak lulus, karena ini mata kuliah jurusan.Â
Tidak ada pilihan lain, semester berikutnya saya harus ikut lagi. Jumlah mahasiswanya makin banyak. Betapa membosankannya.
Saking bosannya, terkadang saya bolos. Toh materi tetap sama, saya bisa belajar sendiri di rumah.Â
Malas sekali membayangkan suasana kuliah yang tidak menyenangkan itu. Saya cuma bisa pasrah, tetap mengikuti kuliah sambil berdoa ada keajaiban terjadi.
Ternyata memang Tuhan sayang sama kami. Memang ada keajaiban datang.
Di akhir semester itu terjadi kesalahan, mungkin bisa dikatakan keteledoran bapak dosen tersebut.Â
Beliau terlambat menyerahkan nilai ujian mahasiswa dari batas waktu yang telah ditetapkan.
Oleh sebab itulah Dekan mengambil keputusan, seluruh mahasiswa yang telah mengikuti ujian dinyatakan lulus semua, dengan nilai "C" sama rata. Hadiah terindah dari bapak Dekan.
Di semester berikutnya, saya dengar dari teman-teman yang mengikuti mata kuliah ini. Beliau mengatakan bahwa kami lulus cuci gudang. Tak apalah dia memakai istilah itu, yang penting kami terbebas dari mata kuliahnya dan bisa melanjutkan kuliah lanjutan.
Mungkin masa sekarang sudah tidak ada dosen yang bersikap semena-mena seperti ini. Orang dulu memang beda ya.
"Cuci gudang" adalah penjualan (biasanya dengan harga miring) untuk menghabiskan stok barang.Â
-------
Hennie Triana Oberst
DE 21042020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H