Urasan memanggil seseorang termasuk gampang-gampang susah. Jika salah memanggil bisa saja orang lain merasa tidak nyaman atau malah tersinggung. Sesama orang Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bisa juga menjadi salah pengertian.
Saya ingat beberapa tahun silam, saat masih bekerja di Jakarta. Seorang teman saya, sebut saja Ali, suatu kali pernah ditugaskan ke Medan. Waktu itu bahasa Medan belum jadi tren seperti sekarang (bolehlah bilang tren ya).Â
Ali cerita, saat dia mengunjungi kantor di Medan, seorang pegawai wanita mempersilakannya menunggu dan berkata: "Silakan ditunggu ya, Bang."
Menurutnya, dia kaget sekali dipanggil "Abang".
"Memangnya gue abang bakso," sambil tertawa ia bercerita.
Lucu memang, karena tidak biasa. Saya katakan bahwa panggilan umum di Medan untuk laki-laki memang Abang, dan untuk wanita Kakak. Tetapi jika dianggap lebih muda dipanggil Adik (Adek).
"Tapi kenapa nggak panggil bapak aja sih?" tanyanya.
"Kamu kan masih muda sekali. Nanti malah tersinggung dipanggil bapak," timpal saya.
Teman saya pun tertawa.
Kebiasaan memanggil seseorang di Jerman sebetulnya secara umum mirip dengan di Indonesia. Jika dalam situasi yang formal atau belum kenal, cukup memanggil "Frau" (Ibu) dan "Herr" (Bapak) dan nama keluarga mereka. Ini ditujukan untuk orang yang sudah dewasa, mulai usia 18 tahun.
Lebih baik tidak langsung merasa akrab memanggil nama, Â jika mereka memperkenalkan diri dengan menyebutkan nama lengkap atau hanya menyebutkan nama keluarga. Biasanya jika mengenalkan diri, orang akan menyebutkan nama keluarganya saja, atau nama depan plus nama keluarga (Hennie Oberst, misalnya).
Dalam pergaulan sehari-hari, Â contohnya dengan tetangga, terutama yang lebih tua dan kita belum kenal dekat, jangan memanggil nama. Panggil mereka dengan Frau atau Herr dan nama keluarga mereka.
Setelah kenal baik dan akrab, orang Jerman lebih suka memanggil nama depan saja, tanpa ada embel-embel Frau atau Herr, tidak peduli berapapun beda usia mereka.
Anak-anak teman saya yang orang Indonesia di sini memanggil saya hanya dengan nama saja, begitu juga anak saya ke mereka. Rasanya memang jadi kurang pas dan janggal, jika dipanggil Tante.
Panggilan Tante dan Onkel (Om) hanya digunakan untuk keluarga dekat saja, sebatas keponakan dari saudara kandung.
Hal seperti ini yang tidak kita jumpai di Indonesia. Tentu kita dianggap tidak sopan, misalnya, memanggil nama saja pada orang tua dari teman kita.
Atau contohnya saya, memanggil mertua dengan nama mereka saja, bukan Mama atau Papa. Ini kemauan mereka, karena merasa hubungan dekat bukan saja sebagai menantu dan mertua, tetapi juga sebagai teman.
Tetapi soal panggilan ke mertua ini tidak berlaku untuk semua orang. Banyak juga teman-teman saya yang memanggil mertua mereka dengan sebutan Mama dan Papa, layaknya di Indonesia.
Saya jadi ingat pertanyaan seorang Kompasianer, Â Ayah Tuah (pinjam namanya ya hehehe), yang pernah bertanya apakah anak saya jika berbicara dengan saya menyebutkan "you" kepada saya.
Memang lucu membayangkannya, kita sebagai orang Indonesia, berkomunikasi dengan orang tua tapi menyebut kamu.
Saya waktu itu menjawab; jika kami berbahasa Jerman, anak saya akan menyebut saya dengan "Du" (kamu). Karena jika kata "Du" diganti dengan "Mama", maka kalimat bahasa Jerman akan menjadi bentuk kalimat untuk orang ketiga, seperti bahasa Inggris. Kedengarannya aneh dan tidak pas.
Tapi jika anak saya menggunakan bahasa Indonesia (patah-patah) tentu dia menggunakan kata "Mama" bukan kamu.
Andere Laender andere Sitten - Lain padang lain belalang!
.
Catatan:
du = kamu; digunakan untuk percakapan tidak formal, dengan teman dan keluarga
Sie = anda; digunakan untuk pembicaraan formal dan untuk orang yang kita panggil dengan 'Frau' dan 'Herr'
-------
HennieTriana Oberst
DE 13022020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H