"Oh, aku tak akan sanggup menjalani hidup seperti kamu," begitu ucap Julia kepada saya. Wanita berambut pirang ini adalah ibu dari teman anak saya di Kindergarten. Kalimat tersebut dikatakan saat ia mengetahui bahwa kami sekeluarga akan pindah sementara ke Negeri Tirai Bambu. Mengikuti pekerjaan suami saya, yang harus berpindah tugas. Ini memang bukan yang pertama sekali saya pindah mengikuti tugas suami ke negara lain. Hanya saja pengalaman di dua negara sebelumnya relatif lebih mudah dibandingkan kepindahan ke Tiongkok ini, karena pada saat itu kami belum dikaruniai anak.
Ada yang berkomentar, "wah enak sekali ya hidup berpindah dari satu negara ke negara lain". Memang iya, dilihat dari satu sisi, kehidupan seperti ini adalah satu pengalaman yang sangat berharga dan tidak ternilai. Pengalaman hidup, bertambahnya wawasan, persahabatan antar bangsa dan benua.Â
Kehidupan rumah tangga sepertinya hampir tidak ada yang berjalan lancar, ada pasang surutnya. Dua manusia yang berbeda karakter, beda selera, harus hidup menyatu melewati hari-hari bersama. Jika tidak ada jalan tengah yang diambil, mungkin dalam hitungan bulan pernikahan bisa berantakan.
Awal ke Tiongkok, sebetulnya, saya berdua dengan putri kami hanya untuk mengunjungi suami saya yang sedang bekerja di kota Shanghai. Rencana yang seharusnya hanya tiga minggu akhirnya berubah menjadi tiga bulan.Â
Usia putri kami saat itu 3 menjelang 4 tahun, masa-masa dia menikmati waktu di Kindergarten. Masa yang tidak terlalu membuat nyaman putri kami, tiga bulan tanpa Kindergarten.
Dari kota Shanghai, suami saya ditugaskan ke Beijing. Puji syukur, banyak perusahaan Jerman yang ada di negara China. Â Banyak warga negara Jerman di sana, sehingga Kindergarten dan sekolah berbahasa Jerman juga ada di sana. Saya memang memilih sekolah berbahasa Jerman, lantaran kami tinggal di Beijing untuk sementara saja.Â
Dalam kurun waktu hampir dua tahun di Beijing, setiap 3 atau 4 bulan sekali kami harus bolak-balik terbang Jerman - Cina. Cukup melelahkan, di samping itu mempengaruhi pasang surut kehidupan rumah tangga.
Saya, ketika berada di Tiongkok, negara yang bahasanya tidak saya mengerti, sibuk mengurus anak, sendirian. Sementara suami saya sangat sibuk dengan pekerjaannya. Bisa dikatakan dari Senin hingga Minggu mereka harus bekerja mengejar target tugas yang telah ditetapkan. Ditambah lagi, suami saya terkadang harus melakukan perjalanan tugas ke luar kota dan luar negeri.
Â
"Kalau sering ditinggal sendirian di negara lain, lebih baik saya dan anak kembali ke Jerman. Tinggal di rumah sendiri dengan lingkungan yang kami mengerti."
Ada seorang teman yang mengatakan bahwa kehidupan kaum ekspatriat seperti ini tantangannya lumayan besar. Memang, kenyataannya ada beberapa teman dan kenalan saya yang pernikahannya gonjang-ganjing, bahkan harus berpisah.
Perpisahan tidak selalu disebabkan ada orang ketiga, ada banyak faktor lainnya. Di satu sisi, para suami yang dipindahtugaskan terlalu sibuk dengan tanggung jawabnya. Mereka kadang lupa bahwa masih ada keluarga yang merasa terabaikan.
Saat akhir minggu, hampir selalu saya lewatkan hanya berdua dengan putri kami. Untuk membuang kejenuhan, terkadang kami ikut kegiatan jalan-jalan ke tempat wisata di Beijing, yang diadakan pengelola gedung.Â
Komunikasi adalah kunci untuk menjaga keutuhan rumah tangga. Membicarakan semua hal dan ganjalan hati secara terbuka.
Saya tidak berharap suami mengabaikan tanggung jawab pekerjaannya. Saya cuma ingin ia sadar, di samping pekerjaannya, anak dan istrinya. Kami juga membutuhkannya, agar masing-masing tidak hidup di dunianya sendiri.
Karir dan materi itu memang penting, tetapi keluarga tidak kalah pentingnya.
-------
HennieTriana Oberst
Germany, 29-02-2020
"Komunikasi rumah tangga"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H