"Nanti kalau bicara dengan anakmu, menggunakan bahasa Indonesia atau Jerman?", tanya Bidan Sarah.
"Bahasa Indonesia tentu," jawab saya.
"Saran saya juga begitu," lanjut Bidan Sarah.
Itu salah satu pembicaraan saya dengan Bidan Sarah yang mendampingi saya sebelum dan setelah melahirkan.
Memang saya memiliki rencana untuk berbicara bahasa Indonesia dengan anak saya setiap hari. Bahasa Jerman sudah pasti akan dia sering dengar dari papanya dan juga lingkungan sekitar kami.Â
Saya tidak mempunyai target tertentu sampai seberapa fasihnya anak saya nanti berbicara, yang terpenting dia tidak asing dengan bahasa Indonesia. Jadi jika kami nanti pulang ke tanah air, dia menjadi terbiasa dan sedikit mengerti pembicaraan orang-orang di sana.
Bidan Sarah menyarankan saya untuk menerapkan dua bahasa (bilingual), yang merupakan bahasa ibu dari salah satu orangtua anak. Bahasa yang betul-betul dipahami oleh orangtua anak, termasuk juga bahasa daerah.
Ia tidak menyarankan untuk menggunakan bahasa asing yang tidak dikuasai dengan sempurna oleh orangtua anak. Contohnya untuk suami dan saya adalah bahasa Inggris, yang merupakan bahasa asing. Karena jika tata bahasa yang kita gunakan banyak yang salah, anak akan bingung ketika mempelajarinya di sekolah. Itu menurut pengalaman Bidan Sarah.
Kemarin saat berkumpul dengan teman-teman, tema tentang menggunakan dua bahasa dengan anak menjadi salah satu perbincangan kami. Masing-masing punya caranya sendiri untuk mengenalkan bahasa ibu mereka pada anaknya.
Alasannya karena pada pemeriksaan kesehatan tahunan di usia batita (bayi di bawah tiga tahun) akan dilihat perkembangannya oleh dokter anak.Â
Anak akan diberikan gambar benda-benda dan akan ditanyakan nama benda tersebut. Saya hanya khawatir anak saya menyebutkannya dalam bahasa Indonesia dan tidak dimengerti oleh dokternya.Â
Awal anak saya di playgroup pada usia 18 bulan, saat saya jemput, gurunya bercerita. Anak saya jika minta minum atau makan mengucapkan kata dalam dua bahasa, gurunya berkata sambil tertawa itu pasti bahasa Indonesia. Lantas saya jelaskan:
"Makan" dan "minum"? Makan = essen, minum =Â trinken", saya menjelaskan.
"Ya, betul. Tapi saya jadi mengerti bahasa Indonesia", jawab gurunya sambil tergelak.
Menurut penelitian dari Universitas Zurich, anak-anak yang tumbuh dengan dua bahasa akan terlatih dengan kekacauan bahasa. Dari kebiasaan ini anak-anak ini lebih terbiasa mengoreksi kesalahpahaman berbahasa.
Walaupun terkadang anak-anak bilingual bisa juga menemukan hambatan, misalnya mereka menggunakan konstruksi kalimat yang salah, atau beralih dari satu bahasa ke bahasa lain jika tidak menemukan kata yang akan diungkapkan. Tetapi mereka lebih cepat menemukan kekeliruan tersebut dan memperbaikinya.
Anak-anak dengan dua bahasa tidak saja mampu mengatakan hal yang sama dengan cara yang berbeda. Mereka juga terbiasa memahami situasi yang rumit dan lebih cepat menemukan jalan keluarnya.
-------
Hennie Triana Oberst
Deutschland, 17 Januari 2020
Referensi: spiegel.de
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H