Sarah bukan tak berusaha mengajak untuk tetap bersama. Tetapi bukankah suatu hubungan itu hanya akan terwujud jika kedua belah pihak sama-sama menginginkannya?
Di situasi yang lain, seorang wanita, sebut saja namanya Nina, memilih berpisah dengan suaminya. Dia bercerita bahwa semuanya baik-baik saja, rumah tangga mereka sudah cukup lama, belasan tahun, mereka bisa dibilang tidak pernah bertengkar, begitu menurutnya.
"Lantas kenapa kamu pilih berpisah?", tanya saya sedikit heran.
Menurut dia cintanya telah hilang, hidup berkecukupan pun tak berarti membuatnya bahagia. Lalu saya tanya lagi, apakah ia jatuh cinta pada orang lain. Dia mengiyakan.
Pertemuan yang tak terduga, saat ia dalam perjalanan kembali ke tanah airnya, sendirian. Dia berkenalan dengan seorang pria. Hubungan mereka selanjutnya hanya lewat telefon. Dia bilang bahwa ia merasa ada yang hilang dari dirinya selama ini, yang ia sadari setelah bertemu laki-laki itu.
Setahun lebih ia berusaha menata kembali perasaannya, ia berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan suaminya. Tapi ia menyerah.
Nina mengatakan sudah tak bisa lagi menghadirkan cinta yang telah luruh. Ia pun pamit, kembali ke tanah airnya meninggalkan suami dan anaknya.Â
Di dalam kepala saya berputar kembali semua pembicaraan kami, dan timbul pertanyaan "bagaimana mungkin seorang Ibu sanggup meninggalkan anaknya?"
Ah, sepertinya saya tidak perlu menjawabnya, karena setiap individu mempunyai masalah dan situasi hidupnya masing-masing. Hanya mereka yang paling tahu dan mengerti hidup yang mereka jalani.Â
Midlife-Crisis bisa terjadi pada siapa saja di antara usia 40 dan akhir 50 tahun. Tiap individu mengalami hal yang berbeda, tidak selalu mereka jatuh cinta. Tetapi di fase ini biasanya ada situasi dan perasaan yang berbeda dari hidup mereka.
Memasuki masa kematangan, sedikit mirip dengan situasi remaja yang baru saja meninggalkan masa anak-anaknya.