Dua mingguan lalu saya berbincang lewat telefon dengan seorang teman wanita. Sudah lebih dari dua tahun ini dia uring-uringan dan tidak bahagia, begitu menurutnya.Â
Wanita yang memasuki usia 40 ini merasa hidupnya membosankan, berputar di rutinitas yang begitu-begitu saja. Tidak memiliki teman baik yang tinggalnya berdekatan dengannya. Saya memang salah satu teman baiknya, tapi jarak kami ribuan kilometer.
Saya katakan bahwa pilihan dia tidak banyak, hanya ada 2; yang pertama memperbaiki hubungan mereka, jujur berbicara dengan pasangan atau jika perlu bisa mencari bantuan tenaga profesional untuk menyelamatkan perkawinan mereka.Â
Pilihan kedua adalah berpisah. Saya katakan, jika memilih berpisah jangan berpisah dengan pertengkaran, karena hal tersebut tetap akan membuatnya tidak bahagia.
Tiap fase kehidupan yang kita jalani berbeda-beda, mulai masa sekolah, kuliah atau kerja, kehidupan berikutnya memutuskan berumah tangga atau hidup sendiri. Setiap individu memiliki cara tersendiri mengisi hidup dan menghadapi masalahnya.
Begitu juga ketika menyambut pergantian dari fase satu ke lainnya juga beragam, ada yang menghadapinya dengan tenang tanpa masalah berarti, ada juga yang merasa cemas berlebihan.
Puber kedua, istilah yang kita kenal, tidak hanya didominasi kaum pria saja. Selama ini banyak orang beranggapan bahwa midlife-crisis (krisis paruh baya) ini hanya dihadapi laki-laki saja.
Mungkin karena wanita itu lebih sering agak sungkan mengekspresikan emosinya, jadi terkesan semua baik-baik saja, adem ayem. Padahal gemuruh emosinya sama juga dengan kaum lelaki.
Seorang wanita, sebut saja Sarah. Kembali ke negara asalnya bersama anak-anaknya. Meninggalkan suaminya yang sedang bertugas di salah satu negara Asia. Dia dan suaminya berpisah. Hanya dalam hitungan beberapa bulan saja mereka di negara itu.Â
Wanita itu bercerita bahwa hubungan mereka tidak bisa diselamatkan. Ia mengatakan bahwa suaminya jatuh cinta dengan wanita setempat. Itu pengakuan suaminya.