Mohon tunggu...
Hennie Engglina
Hennie Engglina Mohon Tunggu... Freelancer - Pelajar Hidup

HEP

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Tahanan Media Sosial

18 Maret 2021   02:35 Diperbarui: 18 Maret 2021   04:55 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini terinspirasi dari artikel Termakan Buah Larangan milik Bapak Tjiptadinata Effendi. Dikisahkan, ada seorang suami yang tidak lagi bekerja sejak mendapat PHK imbas Covid-19. Istrinya melakukan apa saja agar ada penghasilan. Salah satunya dengan usaha catering. Suaminya, Yudi, sama sekali tidak meringankan pekerjaan istrinya malah marah ketika diminta bantuan.

Apa yang dilakukan oleh Yudi? Setiap hari Yudi menghabiskan waktunya di akun-akun media sosial miliknya. Ia sibuk sebagai Admin di beberapa grup. Ia sibuk memberi dan membalas komentar. Tentulah juga aktivitas lainnya di situ. Rupanya, dia benar-benar aktivis media sosial dan tanpa sadar telah menjadi tahanan media sosial.

Bagaikan seorang tahanan kota, tidak dipenjara tetapi harus wajib lapor ke kantor polisi. Demikian pula, tidak sedikit orang yang tanpa sadar telah menjadi tahanan media sosial. Tinggal di dunia nyata, tetapi seakan wajib lapor ke dunia maya setiap hari.

Semua dilaporkan: lagi di mana, sedang melakukan apa, dengan siapa, makan apa, beli apa, dan apa saja bahkan hal-hal tidak terpikirkan bisa dibagikan di media sosial. 

Komentar sana komentar sini. Sampai-sampai telah umum disebutkan netizen +62 adalah orang-orang yang paling pusing karena semua aspek kehidupan manusia mulai dari urusan rumah tangga orang sampai urusan bangsa dan negara harus diurus oleh mereka. 

Berbeda hal dengan mereka yang menggunakan media sosial sebagai media bisnis. Atau, menggunakan media sosial untuk membagikan materi-materi yang menjadi bagian dari pekerjaannya atau membagi ilmu sesuai dengan profesi yang ditekuninya. Singkatnya, hal-hal yang memiliki manfaat. Namun kenyataannya, tidak sedikit hanya menambah timbunan sampah online. 

Akhirnya, memang tidak sepenuhnya salah bila orang berkata bahwa bila terus-menerus di media sosial tanpa manfaat, itu seperti orang yang tidak ada kerjaan.

Faktanya, Yudi. Karena tidak ada pekerjaan, Yudi "kerja sosial" di akun-akun media sosialnya. Walaupun sebenarnya ada kerjaan, yakni membantu pekerjaan istrinya, tetapi Yudi berlaku seperti orang yang tidak ada kerjaan.

Akhirnya, istrinya mengeluh. Curhat kepada opanya tentang perilaku suaminya. Sejak bangun pagi istrinya sudah mengurus pekerjaan rumah tangga pun harus mengurus usaha mereka. Sang suami hanya mengurus media sosial.

Itu namanya: ter-la-lu! Memang, di mana ada kelewatan di situ ada keterlaluan.

Pandemi Covid-19 yang menganjurkan di rumah saja tidak sepenuhnya hendak mengalihkan kehidupan manusia dari dunia nyata ke dunia maya. Pandemi yang "menyengsarakan" dan "merumahkan" ini justru hendak menyadarkan kita bahwa dunia nyata kita yang pertama-tama adalah keluarga.

Apa yang akan terjadi di hari-hari selanjutnya mungkin jauh lebih berat dari yang sedang kita alami saat ini. Mungkin, Allah hendak menyiapkan kita menghadapi itu dengan menyiapkan keluarga demi keluarga.

Dunia telah membuat manusia sibuk dengan urusan di luar rumahnya dan meninggalkan keluarganya. Anggota-anggota keluarga tercerai-berai dengan aktivitasnya masing-masing. Dunia telah merebut banyak kuantitas kebersamaan keluarga dan tidak semua keluarga berhasil menciptakan kualitas kebersamaan di tengah minimnya waktu yang tersisa.

Dengan dirumahkan, Yudi beroleh kesempatan menikmati banyak waktu bersama keluarga. Yudi juga seyogianya bersyukur bahwa meski mendapat PHK, Allah tetap membuka jalan bagi keluarganya untuk mengalirkan berkat-Nya dengan usaha yang dilakukan oleh istrinya. 

Pada saat yang sama dia dapat menguatkan kualitas kebersamaan dirinya sebagai suami bagi istrinya dan ayah bagi anak-anaknya dengan salah satunya bersama-sama mengerjakan usaha istrinya sebagai usaha keluarga. Namun sayang, dari menjadi orang merdeka yang dapat mengambil keputusan bagi hidupnya dan berarti bagi keluarganya, Yudi malah terjerat media sosial.

Tidak ada yang salah pada hal memiliki dan memfungsikan media sosial. Namun, kita tidak punya kewajiban untuk setiap hari lapor diri ke media sosial sebab kita bukan tahanan media sosial. Kita adalah orang-orang merdeka yang hidup di dunia nyata. Ada orang-orang nyata di sekitar kita, yakni keluarga atau orang-orang yang dengan mereka kita hidup bersama.

Terkadang, waktu untuk berbenah diri lebih sedikit dari pada waktu yang telah berlalu. Mungkin, waktu "di rumah saja" ini adalah kesempatan. Bukankah ada syair lagu berkata: "Harta yang paling berharga adalah keluarga"?

Salam, HEP.-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun