Mohon tunggu...
Hennie Engglina
Hennie Engglina Mohon Tunggu... Freelancer - Pelajar Hidup

HEP

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Gereja Bukan Fashion Show"

9 Desember 2019   04:18 Diperbarui: 24 Desember 2019   09:56 2770
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: freepngclipart

Masih ingat quote itu? Ya, quote itu diambil dari judul artikel Anne Avantie, perancang busana Indonesia yang terkenal dengan rancangan kebaya yang unik, elegan, dan mewah.

Artikel itu ditulis oleh Anne di Majalah Hidup edisi 14 Desember 2014 dan booming di kalangan umat Kristiani khususnya kaum perempuan ketika itu.

Saya mengangkat ini kembali mengingat ini sudah bulan Desember. Sudah mau Natal, tepatnya perayaan Hari Kelahiran Yesus Kristus yang diperingati pada tanggal 25 Desember, bahkan perayaan-perayaan Natal sudah sedang berlangsung saat ini.

Selain menyiapkan kue natal, pernak-pernik hiasan Natal, minuman, dan makanan, hal lain yang kerap dianggap tidak kalah pentingnya adalah baju baru.

Urusan ini biasanya adalah bagian para ibu yang dengan trampil menyiapkan baju baru untuk dirinya, suami, dan anak-anak. Dana untuk itu biasanya sudah disiapkan.

Pertanyaannya: apakah harus baju baru?

Tentu tidak. Beribadah kepada Tuhan itu membawa hati dan diri dengan mengenakan pakaian yang sewajarnya. Utamakan sopan, bersih, dan rapi. Itu saja sebenarnya.

Namun, entah mengapa, tradisi baju baru ini oleh sebagian orang dipahami adalah keharusan. Ada yang memberi dasar dengan pemikiran, "Masa ke pesta baju bagus, ke gereja biasa-biasa saja?"

Ya, ke pesta 'kan tujuannya mau ketemu manusia, bukan Tuhan. Manusia 'kan hanya bisa melihat yang kelihatan di matanya. Jadi, lihat pakaian, lihat dandanan, lihat sepatu, lihat tas, lihat perhiasan, lihat datang dengan mobil atau sepeda. 

Sedangkan ke gereja adalah mau beribadah kepada Tuhan. Hati dan diri inilah yang hendak ditunjukkan kepada-Nya. Hati yang baru dan hidup yang baru, itulah yang hendak ditunjukkan kepada Tuhan.

Apakah hati dan hidup kita masih sama seperti minggu lalu bahkan tahun lalu? Ataukah, kita sudah bukan yang dulu lagi, yakni sudah berubah menjadi pribadi yang lebih baik dari hari kemarin. Itu yang mau dilihat Tuhan.

Rasul Petrus sudah pernah menegur: "Perhiasanmu janganlah secara lahiriah..., tetapi perhiasanmu ialah manusia batiniah, ...yang sangat berharga di mata Allah." (1 Petrus 3:3-4).

Inner beauty. Itu maksud Rasul Petrus. Itu yang diutamakan, yakni kecantikan batiniah. Itulah yang berharga di mata Allah.

Ya, tetapi bagaimana kalau sudah seperti Mpok Alpa, "Udah rapi, udah menor, alis dilempeng-lempengin, bibir dimerah-merahin."?

Tidak ada yang salah sebenarnya. Akan tetapi, seyogianya bukan itu yang didahulukan dan diutamakan, tetapi hati dan hidup yang didandani cantik di mata Tuhan. Itulah yang harus diprioritaskan.

Jangan sampai seperti ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang dikecam Yesus:

"Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu sama seperti kuburan yang dilabur putih, yang sebelah luarnya memang bersih tampaknya, tetapi yang sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran." (Matius 23:27)

Apalagi sekarang zaman serba "pemutihan". Bukan utang saja senang diputihkan, tetapi kulit juga mau diputihkan. Gigi diputihkan. Semua mau diputihkan.

Narasi iklan kosmetik dan perawatan kulit pun sangat diskriminatif terhadap kulit berwarna gelap, seolah berkulit hitam adalah malapetaka bagi kaum perempuan.

Kamera smartphone pun menolak kulit gelap. Yang hitam jadi putih. Seperti foto saya. Kulit saya jadi terlihat putih. Padahal kulit saya gelap. Lalu, saya mau apakan HP saya itu?

Pak Johanes Krisnomo sampai WA ke saya, "Mbak Hennie cover foto koq jadi lebih putih?" Nah loh. Saya jawab saja, "Iya heran kamera sekarang bikin putih". Hiks.

Semua saja hendak kita tolak dari Tuhan. Tanpa sadar, kita sudah jadi pemberontak terhadap hasil karya tangan Tuhan sendiri dan ketetapan-Nya untuk hidup kita.

Akhirnya, seperti saya tulis di artikel sebelumnya, bahwa bukan Tuhan yang merumitkan hidup kita, tetapi kitalah yang membuat hidup yang Ia anugerahkan menjadi rumit oleh karena perspektif manusia.

Persoalannya adalah apakah kita hanya bersemangat memutihkan kulit tubuh dan wajah kita, lalu bagaimana dengan hati dan hidup kita?

Apakah upaya kita memutihkan kulit sama besarnya dengan upaya memutihkan hati dan hidup kita? Adakah upaya ke arah itu? Ataukah, kita hanya ingin dilihat manusia saja?

Demikian juga halnya dalam berbusana saat beribadah. Kita perlu menyelidiki hati dan pikiran kita dengan bertanya: untuk siapa sebenarnya saya tampil seperti ini di gereja?

Untuk menunjukkan kepada Tuhankah? Apakah Ia memerlukan itu? Atau, jangan-jangan, itu adalah untuk kepuasan diri kita sendiri saja dan juga untuk mata manusia semata.

Karena manusia hanya bisa melihat dengan matanya. Sayangnya, "Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati." (1 Samuel 16:7b).

Jadi, pakaian baru bukanlah yang utama. Dengan berpakaian sopan, bersih, dan rapi, itu sudah cukup. Sebab, yang terutama adalah membaharui hati, pikiran, sifat atau tabiat, perilaku, ucapan, dan perbuatan, itulah yang utama.

Ada banyak tempat dan kesempatan di luar gedung gereja atau di luar ibadah untuk tampil bak fashion show. Dunia tidak kekurangan tempat bagi orang-orang yang hendak menunjukkan siapa dirinya. Dunia juga tidak akan kehabisan ruang bagi orang yang hendak meninggikan dirinya. Jangan kuatir akan hal itu.

Di gereja setiap orang berdiri sama tinggi duduk sama rendah, karena di hadapan Tuhan bukan kaya atau miskin, bukan berpendidikan atau tidak berpendidikan, bukan pejabat atau karyawan, dan lainnya. Bukan itu. Siapa diri kita sesungguhnya, itulah yang dilihat oleh Tuhan.

Lagi pula, berempatilah dengan jemaat yang berkekurangan. Bagaimana rasanya, kita tampil bak Syahrini, sementara di kursi sebelah duduk seorang yang miskin, yang hanya bisa memandang pesona kemewahan itu tanpa suara.

Allah yang Mahatinggi saja mau turun dari ketinggian untuk menjadi sahabat bagi kita. Kita yang bukan mahatinggi, tetapi hanya "tinggi" saja cenderung begitu sulit untuk menjadi sesama bagi mereka yang sederhana.

Lalu, apa arti kita merayakan Natal, jika untuk tampil sederhana saja kita tidak sudi? Toh tidak mengubah status sosial. Kalau sudah diketahui kaya, ya, kaya saja. Adakah yang hilang dari diri kita bila kita bersedia sederhana saja? Tidak ada.

Kita bicara tentang Natal dengan begitu hebatnya, sementara untuk sederhana saja kita begitu beratnya. Kita bicara tentang kasih dengan begitu luar biasa, sementara memahami perasaan mereka yang dalam kemiskinan saja kita tidak bisa.

Namun, semuanya kembali ke diri kita masing-masing. Setidaknya, mari kita merenungkannya.

Bagaimanapun, gereja memang bukan fashion show.

Salam. HEP.-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun