Katanya, sudah sombong, inbox tidak dibalas.
Kira-kira begitu cakap saudara saya via Whatsapp. Katanya, seseorang menyampaikan hal itu kepadanya karena pesannya via inbox Facebook tidak dibalas oleh saya.
Saya tidak lagi punya Messenger. Dulu inbox FB dapat langsung dibuka pada aplikasi FB, tetapi pihak FB memisahkan inbox itu agar mau tidak mau pengguna FB yang aktif menggunakan inbox akan mengunduh aplikasi percakapan Messenger.
Awalnya saya punya Messenger itu. Saya juga punya Wechat, Line, Hangout, juga tentu BBM zaman Blackberry. Sekarang saya hanya mengunduh satu aplikasi percakapan daring, yakni Whatsapp.
Hanya WA saja. Tidak ada yang lain. Tak ada Messenger, karena saya tidak lagi menjadikan FB bagian dari daily life saya.
Dulu saya sangat aktif di FB. Saya juga punya halaman FB sendiri. Saya dimasukkan ke aneka grup. Permintaan pertemanan menumpuk. Tidak bisa saya konfirmasi karena jumlah pertemanan di akun saya telah mencapai 5000 akun.
Foto? Jangan tanya. Saya punya album foto lengkap yang saya buat berkategori: Me & Family, Me & Friends, About Me (segala aktivitas saya bagikan), dan lainnya. Swafoto (selfie)? Lebih-lebih lagi.
Saya punya album khusus untuk aneka swafoto. Kalau Anda melihat video ini, foto-foto pada video itu adalah dari FB itu. Dari video yang saya buat enam tahun lalu itu, Anda bisa beroleh gambaran betapa eksisnya saya di FB dengan foto selfie yang aneka macamnya itu.
Akan tetapi, segala sesuatu ada masanya. Suatu waktu saya tiba pada satu titik kesadaran bahwa media sosial boleh tetap ada di hidup saya tetapi bukan lagi bagian dari hidup. Maksudnya?
Saya menjelaskan dengan contoh ini: "X" adalah mantan kekasih saya. Memang dulu dia pernah menjadi bagian dari hidup saya, tetapi setelah kami berpisah, dia bukan lagi bagian dari hidup saya.