Hari ini, Kamis, 28 Februari 2019, Ratna Sarumpaet (RS), terdakwa kasus penyebaran hoaks, menjalani sidang pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan agenda pembacaan dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Saya memang menunggu sidang ini untuk mendengarkan kronologi hoaks RS berdasarkan dakwaan JPU. Sebab, berita yang beredar sebelumnya tampak simpang siur.
Namun, hari ini kita sudah mendengarkan dengan jelas rincian dari awal drama penganiayaan itu dimulai oleh RS hingga akhirnya ia sendiri mengakui bahwa semua adalah kebohongan dia belaka.
Ratna dijerat dengan dengan Pasal 14 & 15 Â UU RI No 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana dan pasal 28 UU ITEÂ
Berdasarkan dakwaan JPU, bahwa yang memberi reaksi terhadap hoaks RS dengan mengangkat berita itu ke media sosial adalah Rizal Ramli, Mardani Ali Selan, Rachel Maryam. Rocky Gerung, Fahri Hamzah, Fadli Zon, Dahnil Anzar Simanjuntak, Ferdinand Hutahaean, Hanum Rais, dan Nani Sudaryati.
Kabar ini menjadi kuat diyakini kebenarannya oleh publik karena mereka yang mempublikasikan itu adalah orang-orang yang juga diyakini kredibilitasnya terkait dengan keberadaan RS yang ketika itu adalah anggota BPN Paslon 02. Karena mereka yang bicara, maka kabar hoaks itu seakan terkonfirmasi kebenarannya.
(1) Kalau penyiar dan penyebar hoaks tidak tahu atau tidak menduga atau tidak mengira atau tidak menyangka bahwa berita yang disiarkannya dan disebarkannya adalah berita bohong, maka ia bisa lepas dari jeratan UU ini, khususnya  Pasal 14 UU RI No 1 Tahun 1946 Ayat 2.
Publik justru menjadi tidak meragukan berita itu karena siapa dulu yang bicara!! Maka, timbullah reaksi dari masyarakat, bahkan pengumpulan massa.
Dan, itu juga yang dijadikan dalih oleh mereka, bahwa mereka tidak menyangka RS bohong.
Oleh sebab itu, seharusnya UU ini tidak memberi peluang kepada "menyangka", melainkan tegas menyatakan bahwa tidak boleh menyiarkan dan menyebarkan suatu berita tanpa melalui proses konfirmasi akan kevalidannya.Â
(2) Hanya tidak boleh bila "tanpa hak menyebarkan informasi" (pasal 28 UU ITE).Â
Maka, mereka semua bebas. Mengapa?
- Karena semua berkata "tidak menyangka" itu bohong.
- Penyiaran hoaks melalui media sosial yang mereka lakukan termasuk jumpa pers yang dilakukan oleh Prabowo, mereka nyatakan memiliki dasar ijin dari RS sendiri. Artinya, mereka "mendapat hak" untuk menyebarkan informasi itu.
Kedua UU ini memiliki kelemahannya di sini. Terbukti, mereka yang notabene menyiarkan hoaks itu menjadi konsumsi publik malah bebas dari dua UU itu hanya karena "tidak menyangka" itu bohong dan karena "mendapat hak" dari RS untuk menyebarkan hoaks itu.
Semua orang bisa mengatakan tidak menyangka suatu berita adalah bohong atau tidak menyangka itu hoaks.
Dan, ada saja orang nekad bisa memberi hak kepada banyak orang untuk menyebarkan hoaks dengan siap menanggung resiko dihukum seorang diri.
Yang menjadi persoalan adalah penyiaran dan penyebaran itulah yang membuat kekisruhan.
Andai saja hoaks RS tidak dipublikasikan via media sosial dan media berita, apakah orang Indonesia dan dunia akan tahu hal itu?
Salam. HEP.-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H