Saya menemukan kata ‘tercekat’ umumnya pada tulisan fiksiana. Dalam konteks cerita, kata 'tercekat' dipakai untuk menggambarkan keterkejutan seseorang terhadap apa yang baru saja ia dengar atau kekagetan melihat kehadiran seseorang diluar perkiraan.
Misalnya: A sedang membicarakan B kepada C. Sementara A sedang berbicara, B mendadak muncul. Si A dituliskan “tercekat”.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata ‘cekat’ memang ada, tetapi artinya adalah
- Cekat, cekatan artinya 1 cepat mengerti; pintar, cerdik; 2 cepat dan mahir melakukan sesuatu; gapah; tangkas.
- Kecekatan artinya 1 kecerdikan; 2 kecepatan (ketangkasan) dalam mengerjakan sesuatu.
Tidak ada ‘tercekat’. Dari kata dasarnya saja kata itu tidak mengandung keterkejutan.
Seketika saya teringat pula kata ‘terhenyak’. Kata ‘terhenyak’ juga dimengerti serupa dengan ‘tercekat’. Dulu, saya mengira kata ini ada dalam KBBI. Ternyata, tidak. Keduanya tidak ada dalam KBBI.
Baca juga: Kamu, Kalian, Anda, dan Saudara, Merapatlah di Sini!
Menulis di Kompasiana menginsafkan saya, bahwa saya harus melek kosakata, sebab kosakata Bahasa Indonesia sangat kaya. Dan, karena menulis di Kompasiana ini jugalah saya seakan baru terjaga dari tidur yang panjang dan menemukan banyak ketidaktepatan paramasastra dalam tulisan saya.
Saya menggeliat. Secara mandiri saya belajar. Tetap menulis sambil belajar. Learning by doing. Saya juga belajar dari tulisan Mas Khrisna Pabichara yang memang ahli di bidang Bahasa Indonesia.
Saya belajar dari tulisan Pak Suko Waspodo tentang penulisan kata ulang semu pada judul artikel. Kata 'laba-laba', misalnya, pada judul artikel bukan "Laba-laba", melainkan “Laba-Laba”. Kedua huruf "L" harus sama-sama huruf besar.
Saya belajar dari teguran Pak Katedrarajawen yang mengoreksi kata “tak bergeming” pada tulisan saya: Luka.
Seharusnya: “bergeming” saja. Sebab, kata 'geming' atau 'bergeming' itu sendiri sudah berarti “tidak bergeming sedikit juga; diam saja”. Bila ada kata “tak” di depan "bergeming" artinya “tak tidak bergeming sedikit juga”. Rancu.