Mohon tunggu...
Hennie Engglina
Hennie Engglina Mohon Tunggu... Freelancer - Pelajar Hidup

HEP

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Aku dan Mentari, "Si Pelacur Itu"

15 September 2018   19:09 Diperbarui: 29 Januari 2019   22:01 1083
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Nilai Sholat bukan di mata manusia, tetapi di mata Allah. Kalau kamu Sholat tidak berubah apalagi bila kamu tidak pernah Sholat. Bukan bertobat baru Sholat, tapi Sholat-lah maka pintu ke arah pertobatan itu akan terlihat olehmu. Biar Allah menuntunmu ke pintu itu."

"Memang, manusia umumnya akan menertawakanmu. Kamu akan dianggap tidak tahu diri. Munafik. Itulah cara Iblis menjauhkan umat-Nya dari Allah, yakni lewat manusia juga. Kamu jangan terpedaya dengan Iblis. Karena apapun yang membuat kamu menjauhi Allah itu pasti dari Iblis. Sebab yang dari Allah pasti akan membuatmu dekat kepada Allah."

Harusnya bukan saya yang menjelaskan hal itu kepada Mentari. Namun, Mentari menutup diri dari lingkungannya. Allah mempertemukan kami. Bukan untuk meng-Kristen-kan dia, tapi untuk membuat dia menemukan dirinya sendiri dalam sujudnya kepada Allah. 

Kini Mentari bukan lagi Mentari yang dulu. Ia sudah jadi seorang Ibu satu anak bersama suaminya yang mencintainya dan hidup jauh di negeri orang. Ia telah menjadi seorang yang tetap dekat kepada Allah, meski diakuinya masih ada kekurangan. Biarlah itu berjalan bersama waktu.

Ada baiknya kita tidak menilai seseorang dari secuil yang terlihat. Baiklah kita tidak membiarkan orang yang dipandang "kotor" hanya berkawan dengan orang yang juga dipandang "kotor".

Mungkin inilah yang terbawa di diri saya. Saya ingat di Manado dulu, saya suka mau duduk di tempat di mana para kaum Bapak duduk minum minuman keras. Tak pernah saya menghakimi mereka. Bercerita banyak hal bersama mereka.

Namun, kehadiran saya malah membuat mereka berhenti minum lebih awal. Padahal saya tidak menyuruh mereka berhenti apalagi menyuruh pulang. Mereka berhenti sendiri dan bubar jalan.

Saat saya bersama orang yang suka bercanda, saya bisa tertawa terbahak-bahak bila kami berbalas cerita mob. Anda bisa melihat itu dalam artikel saya menjawab tantangan Even BeCak di Kompasiana. Cerita saya yang "hot" di situ, kata Ibu Mike. Beberapa pembaca mungkin terkejut, lalu menganggap, wah orang ini biasanya tulisannya seperti apa, ternyata seperti itu.

Bisa saja ada yang berpikir seperti itu. Dapat saya pahami. Sebab itu adalah cara pandang yang telah terbangun di banyak diri manusia di dunia ini. Sepotong tahu, utuh menilai. Hal seperti inilah membuat banyak manusia dihakimi sebelum diadili, dipenjarakan sebelum divonis.

Dunia terlalu luas untuk dilihat sekecil itu dan hidup tak terhingga untuk dipandang sesempit itu. Jika kisah hidup semua manusia di dunia ini di-buku-kan, sampai dunia berakhir pun, itu belum jua habis terbaca. 

Mentari yang dulu hanya salah satu dari banyak mereka yang terkurung dalam lingkup yang sama karena orang-orang "bersih" tak sudi ada bersama mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun