Mohon tunggu...
Hennie Engglina
Hennie Engglina Mohon Tunggu... Freelancer - Pelajar Hidup

HEP

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Aku dan Mentari, "Si Pelacur Itu"

15 September 2018   19:09 Diperbarui: 29 Januari 2019   22:01 1083
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
cloud.netlifyusercontent.

dokpri_hep
dokpri_hep
dokpri_hep
dokpri_hep
Persepsi terhadap seseorang bisa berubah seketika pada saat mendapati hal-hal yang dipandang "kotor". Lalu menjauhi dan terkadang langsung mencap orang itu "kotor", seolah seluruh hidup orang itu "kotor" semata-mata.

Jika orang yang merasa "bersih" menjauhkan diri dari orang yang dipandangnya "kotor", maka orang "kotor" hanya akan punya teman orang "kotor" juga. Jika orang "kotor" hanya bertemankan orang "kotor" , maka ia cenderung tidak akan menjadi "bersih".

Tidak sedikit orang tidak mau ikut dicap "kotor" karena berkawan dengan orang yang dicap "kotor". Menjauhi mereka dipandang aman buat diri dan aman buat pandangan sosial.

Saya ingat kata bijak papi saya, "If you want to save ants, be with ants."  Kita tidak akan pernah mengerti semut, bila tidak mau ada bersama semut, apalagi menyelamatkannya. Kita harus ada dahulu dengan semut barulah kita bisa menyelamatkan semut itu.

Menyelamatkan bukan harus dan hanya dengan meng-agama-kan seseorang sama dengan agama kita. Inilah yang seringkali sempit dipahami, tidak hanya oleh agama lain, bahkan oleh penganut agama Kristen pula.

Andai saja kita memahami bahwa ibarat benih, kita hanya penabur benih, namun yang menumbuhkan adalah Allah; bahwa hal seseorang menjadi seagama dengan kita adalah keputusan Allah Pemilik Surga itu sendiri, maka kita tidak akan menjadi orang yang memburu jiwa-jiwa dengan tujuan semata-mata di-Kristen-kan. Hal menjadi Kristen adalah "Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu".

Mentari ketika itu seorang pelacur. Orang mungkin tak sudi berkawan dengan dia. Dengan sadar, ia tahu ia "kotor" -- dia yang menyebutkan itu, bukan saya. Karena itu dia tidak pernah Sholat.

Saya hanya menyampaikan: "Piring kotor tak dapat membersihkan piring kotor. Kita perlu sabun cuci". Manusia tidak dapat membersihkan manusia. Hanya kemunafikan, ketidaksadaran diri, dan tidak mengerti saja yang membuat manusia memandang diri "bersih".

Semua manusia berdosa. Tidak ada yang tidak. Bagaimana mungkin orang berdosa menyuci orang berdosa? Kita perlu Allah. Hanya Dia yang dapat membersihkan manusia. 

"Jika kamu tidak mendekatkan diri ke Allah, tak mau Sholat, maka kamu tidak akan pernah menjadi bersih. Manusia hanya bisa memandang "kotor"-mu, tapi Allah memandang seluruh hidupmu yang tidak dilihat oleh mereka". 

Pandangan manusia dan pandang Allah berbeda. Allah Mahatahu, kita hanya sebatas tahu. Lalu, ia pernah bertanya, "Kalau saya Sholat tapi belum bertaubat, apa Sholatku tidak salah?".  Saya menjawab,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun