Siapa pencipta istilah "Cebong" dan "Mak-mak" itu? Â "Kreatif" sekali. Cebong itu adalah hewan;binatang, tapi disebutkan untuk manusia. Manusia disebut binatang.
Sekarang muncul lagi "kreativitas" yang baru: "Mak-mak". Kata KBBI Daring 'mak' itu artinya sebutan kepada orang perempuan yang patut disebut ibu atau dianggap sepadan dengan ibu.
Kemarin Penulis bertanya ke mak-mak tetangga, apa pernah mengisi angket yang kemudian disebut-sebut ZH "Titipan Mak-mak". Kata mereka, tidak ada. Malah balik bertanya ke Penulis, "Titipan apa?".
Lalu, mak-mak yang dimaksud SU dan ZH itu, mak-mak yang mana? Kalau itu mak-mak kelompok, maka jangan diseret ke dalam pidato kenegaraan dalam forum kenegaraan. Karena forum negara adalah forum negara, bukan forum kelompok.Â
Coba kalau ditukar. Jokowi jadi ZH saat itu. Yakin, habis Beliau dikritik. Namun, karena sahabat yang melakukan itu, maka itu tidak masalah.
Sama dengan memecat pegawai via Whatsapp, dibela "zaman now". Bayangkan, oleh perbuatan satu orang, bisa terjadi hal yang sama bagi banyak karyawan di negara ini, dipecat begitu saja dengan cara itu. Cara yang tidak prosedural dibenarkan tanpa pikir imbasnya bagi karwayan-karyawan kecil di negara ini.
Sudah separah inikah? Tidak salah catatan Penulis tentang Dunia Politik dalam Senandika 3-8 bahwa politik = cermin. Yang kiri itu kanan. Yang kanan itu kiri. Yang benar itu salah. Yang salah itu benar.
Mbok ya, kalau salah, salah. Kalau benar, benar. Siapa pun itu. Mau Jokowi, mau siapa pun. Jangan yang salah jadi benar, yang benar jadi salah. Sampai ke akar rumput membela pandangan yang sama, bahwa itu benar. Efeknya tidak sederhana.Â
Rakyat Indonesia tiap hari disuguhkan pernyataan-pernyataan yang mengajari anak bangsa ini untuk lebih memandang hal yang negatif semata-mata dari pada yang positif. Nyaris langka pengakuan dan pujian.
Maka, sampai bumi berakhir, tidak ada pemimpin bangsa dan negara ini akan benar-benar merasa dihargai. Sebab para pengincar kursi kekuasaan dan lawan-lawan politik, entah sadar atau tidak atau mungkin tidak peduli, terus mengajari anak bangsa untuk tidak melihat apa yang sudah dikerjakan, apa yang sudah diberikan bagi bangsa dan negara ini, melainkan hanya melihat keburukan dan kekurangan semata-mata.
Akhirnya lihat, hal gempa yang harusnya menjadi keprihatinan mendalam kita semua malah jadi sindiran. Padahal hal yang sama bisa terjadi sekejap di tempat dimana engkau menyindir. Musibah bisa terjadi pada diri dan hidupmu juga.
Kog bisa setega itu memanfaatkan penderitaan orang lain menjadi kesempatan menyerang lawan. Karena apa? Guru kencing berdiri, murid kencing berlari.
Ala bisa karena biasa. Negara ini membiasakan anak-anak bangsa lebih melihat yang buruk dari pada melihat yang baik. Oleh sebab itu, sampai kapan pun, setiap pemimpin negara ini akan terus menerima perlakukan yang sama pula. Karena apa yang ditabur, itu juga yang dituai!
Adillah, maka engkau akan menerima yang adil. Kritiklah apa yang layak dikoreksi. Namun, pujilah pula, apa yang patut dihargai. Jangan membuang pujian. Jangan meniadakan kritikan.Â
Justru bila seluruh pernyataan hanya "hitam" semata, maka di situlah nyata ketidakbenaran. Hidup ini candramawa. Ada hitam. Ada putih. Tidak mungkin seluruhnya hitam dan tidak mungkin seluruhnya putih.
Ketika semua seolah hitam, maka di situ ada kebohongan. Ketika semua seolah putih, maka di situ ada kemunafikan.
Benar jika benar. Salah jika salah. Buruk bila buruk. Indah bila indah. Hargailah, maka kamu pun akan dihargai.Â
Salam. HEP.-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H